image

Anakmu bukan milikmu.
Ungkapan klasik dari pujangga terkenal bernama Khalil Gibran itu buat saya sangat benar. Anak adalah titipan, bukan hak milik. Meski dia hadir dari benih kita, orang tuanya, namun kita sama sekali tak berhak membelenggunya dalam genggaman. Pun bagi seorang ibu seperti saya.
Sembilan bulan lebih berbagi raga dan jiwa, tak berarti seorang ibu mempunyai hak istimewa dalam masa depannya. Anak tetaplah anak, seorang pribadi yang merdeka, punya kemauan dan takdirnya sendiri.
Melindungi, merawat dan membesarkannya setulus hati tentu saja adalah kewajiban kita sebagai orang tua. Kita hanya dititipi sama Yang di Atas. Sebagai pihak yang memegang amanah agung itu, sudah sepantasnya kita menjaga dan merawat titipan itu sampai nanti saatnya Dia mengambilnya dari kita. Entah untuk belajar, bekerja, atau bahkan berpulang ke rumahNya yang kekal.

Seringkali sebagai orang tua, kita itung-itungan. Sudah berapa banyak kita berinvestasi dalam hidup mereka dan berharap kelak mereka bisa memberi kita keuntungan yang setimpal. Sadis? Mungkin. Tapi itulah kenyataannya bukan? Nooo…..jangan mencibir sama saya. Jawab aja dalam hati masing-masing siapa sih yang tak ingin anaknya berhasil dan bisa mengangkat derajat orang tuanya..? Orang tua mana coba yang tak berharap nanti jika mereka sudah tua, maka anak-anaknya akan gantian merawatnya? Pasti semua orang tua berpikiran yang sama. Well, akan selalu ada anti mainstream memang. Tapi, come on… let’s get real!
Tak ada orang tua yang ingin menghabiskan masa tuanya sendirian, kecuali ada kondisi tertentu yang di luar hal normal.

Di era modern ini, banyak hal yang mesti kita pahami. Meski anak-anak kita adalah bagian dari hidup kita, mereka tetap memiliki porsi hidupnya masing-masing. Kesibukan, jarak dan waktu tak lagi sama dengan masa yang silam. Nyatanya, sekarang ini pekerjaan, hubungan pertemanan, dan banyak hal lain menjadi jarak baru yang membentang antara orang tua dan anak. Berapa sering komunikasi terputus karena tak ada waktu lagi bagi orang tua. Padahal gadget model terbaru selalu update di tangan. Namun lihatlah betapa lebih seringnya kita bersilaturahmi dengan teman-teman di dunia maya ketimbang bercakap-cakap dengan orang di samping kita. Teknologi yang memudahkan kita meredam jarak dan waktu nyatanya justru memisahkan kedekatan orang tua dan anak, suami dan istri, sahabat dan tetangga…dan banyak lagi hubungan antar manusia yang terganti dengan tatapan hangat di kayar kaca, ataupun ketak ketik jemari di atas benda mati. Tak neran, dulu sempat ada sindiran nyinyir “blekberi: mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”

Kembali lagi, sebagai orang tua, apa yang sebaiknya kita lakukan? Anak itu cuma titipan. Karena itu daripada sakit hati atau nelangsa karena anak tak bisa menuruti impian kita, ada baiknya kita mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi masa tua yang mandiri, jangan membebani anak dengan keharusan merawat kita kelak di masa tua. Mereka punya dunianya sendiri, demikian juga kita. Kita hanya seperti busur yang melemparkan anak panah jauh ke depan menuju sasarannya. Sekali anak panah itu melesat meninggalkan kita, tak mungkin dia akan kembali kepada kita.

Karena itu, mengharapkan anak-anak menjadi penjaga orang tua mungkin akan menjadi sebuah mimpi indah. Syukur-syukur mimpi itu jadi nyata. Kalaupun tidak, minimal kita boleh berbangga bahwa anak panah kita telah melesat menemukan sasarannya, dunianya sendiri. Busur yang telah tua akan disimpan ke dalam tempat penyimpanan senjata dan menunggu waktunya masuk musium.

Ini catatan saya tentang menjadi orang tua. Harapan, impian dan keinginan akan masa depan yang sejatinya berjalan beriringan dengan tugas dan tanggung jawab saya sebagai anak. Seringkali saya lupa menggabungkan keduanya menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Saat menjadi anak, kadangkala saya lupa bagaimana perasaan orang tua dan sebaliknya sebagai ibu, saya sering gagal memahami posisi seorang anak. Again, i’m just an ordinary woman. Ingin dimengerti dan masih harus banyak belajar untuk bisa mengerti orang lain.

Salam.