Tulisan dan perdebatan panjang tentang hal paling klasik di dunia ibu-ibu –ibu bekerja atau ibu sepenuh waktu–  ini, tak pernah berhenti. Nggak di medsos, nggak di dunia nyata, perang kalimat nyinyir antar genk ini menjadi “juara bertahan” yang hampir tak tergoyahkan. Belum lagi perang tanding antara ASI, ASIP dan susu formula. Isshh… kalau semua diladeni, bisa pecah pala babi. Hahaha…

Saya sih sebetulnya udah malas dan eneg berdebat kusir seperti ini. Karena itu, kalau ada thread tentang hal ini di manapun, saya pilih melipir aja. Nggak penting menurut saya. Kenapa? I’ve been there before, Moms! Saya pernah ngantor bertahun-tahun, saya juga ngalamin beratnya perjuangan jadi pejuang ASI yang gagal, dan harus rela KO sama botol susu. Meski begitu, akhirnya saya bisa juga menyusui anak kedua dengan perfecto. Nggak hanya 2 tahun, saya malah kasih Kevin ASI plus plus hingga 3 tahun. Uwowww banget nggak sih? Boleh dong kasih duit tepuk tangan!!! Hurrayyy!

 

Menjadi ibu sepenuh waktu

Saat-saat ASI ekslusif bersama Kevin

 

Kini, hampir enam tahun saya berkarier sebagai ibu sepenuh waktu. Setelah 10 tahun jadi ibu bekerja, tinggal di rumah 24 jam sempat membuat hidup saya pusing juga. Dunia saya berputar 180 derajat. Dulu, setiap hari saya menghabiskan hampir separuh waktu di luar rumah. Menjadi wanita karier, memang menuntut saya tampil modis dalam balutan busana kantor yang kadang-kadang -harus diakui- cukup menyiksa.

Salah satu siksaan yang nikmat adalah high heels. Meski nggak ada aturan khusus tentang hal ini, high heels sudah menjadi “kewajiban” bagi perempuan pekerja. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menunjang penampilan. Terutama buat ibu-ibu mungil dengan tubuh semampai alias semeter tak sampai seperti saya ini. Namun, menjadi ibu bekerja yang sujses dan bahagia itu juga harus patuh rambu-rambu loh. Saya menuliskannya di sini, baca ya.

Semasa masih bekerja, pulang kantor dengan keluhan sakit di bagian kaki atau pinggang adalah hal biasa bagi saya. Paling banter, saya akan merendam kaki di ember berisi air hangat dan garam, atau mengangkatnya tinggi-tinggi di atas tumpukan guling atau bantal. Bagi saya –dulu- hal itu jauh lebih baik daripada terlihat gempal di mata klien. Hihihi…

Nah, saat memutuskan untuk resign dari kantor dan menjadi ibu sepenuh waktu, otomatis saya terbebas dari tuntutan high heels ini. Ah, rasanya lega banget. Tak ada lagi keluhan sakit pinggang atau keram kaki di sore hari. Senang? So pasti dong, Nek!

Namun, apakah penderitaan saya berakhir saudara-saudara? Oh ternyata tidak! Lo, kok? Iya, penderitaan saya bukannya berakhir, tapi berubah wujud. Kalau dulu, kaki dan pinggang yang jadi korban gara-gara high heels, sekarang gantian tangan saya yang sering jadi sasaran keisengan panci dan kompor yang menyala.

Jadi ceritanya, sebagai ibu dan istri yang baik, saya selalu menyediakan waktu untuk memasak makanan bagi seisi rumah. Ini artinya, pisau, panci, dan kompor menjadi teman baik saya sehari-hari. Karena itu, tergores atau melepuh akibat tak sengaja menyenggol panci panas tak lagi asing dong.

Etapi, beres mengerjakan urusan domestik, saya punya obat mujarab loh. Yaaa,apalagi kalau nggak ketak-ketik di depan lappie atau tab seperti saat membuat tulisan ini. Kalau sudah begitu, saya akan say good bye deh sama panci, sothil, dan teman-temannya. Saya tahu, pasti ada yang mbatin apakah saya menyesal resign dari kantor. Bener kan? Hm.. jawab nggak ya? Hahaha… #takutdilemparpanci

Gini aja, sebelum saya jawab, saya mau bilang kalau dulu juga pernah nulis catatan kecil tentang dilema memilih pekerjaan bagi para perempuan. Mau ngantor apa di rumah aja. Waktu itu bikinnya karena gemes banget sama nyinyiran tetangga hahaha. Meski nggak banyak teori ilmiah atau kata-kata mutiara, menurut saya sih tulisan ini cukup enak dibaca. Eaaaaa….. promosi.

 

Slide di atas adalah perjalanan karier saya sebagai ibu bekerja dan ibu sepenuh waktu. Keduanya selalu menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri sampai detik ini. 😊

 

 

Well, segala sesuatu yang baru pasti membuat kita nggak nyaman. Begitu pula yang saya rsakan. Nggak mau munafik lah, di awal-awal resign, saya butuh waktu untuk berdamai dengan diri sendiri. Nggak mudah memang berganti “baju” dari blazer jadi daster. Tapi setelah melewati puluhan purnama #halaaah … saya mulai ikhlas dan membiasakan diri dengan kondisi yang baru.

Saya pun menempatkan pengalaman saat bekerja dulu sebagai pengingat bahwa semua hal ada masanya. Ada konsekuensinya. Menjadi ibu bekerja ataupun ibu sepenuh waktu, sama-sama memiliki sisi positif dan negatif yang harus diterima dan disikapi sebagai bagian dari risiko profesi. Saat menikmati peran saya sebagai ibu sepenuh waktu, kadang-kadang saya memang merindukan high heels seperti dulu. Jalan melenggang bak peragawati yang anggun dengan wangi parfum yang semerbak. Huhuhu… jadi inget high heels andalan yang jebol solnya gegara nggak pernah dipakai lagi. #tidaaaaakkk!

Namun, saya juga ingat betapa dulu saat masih ngantor, saya ngiler pengen memiliki kebebasan waktu sebagai ibu rumah tangga yang punya banyak waktu dengan anak-anaknya. Melihat mereka bertumbuh dan berkembang setiap hari. Dan terutama… bisa bobo ciang dengan manis atau halan-halan dijam kerja. Huaaa…. mantabssss.

Saya sadar, yang harus saya lakukan adalah banyak bersyukur. Ya, bersyukur adalah hal utama yang membuat para emak seperti saya ini bisa ikhlas menjalani hidup. Semua pilihan selalu membawa konsekuensinya masing-masing. Dan apapun pilihan itu, sebagai emak tangguh jaman now, saya nggak boleh menyerah dengan keadaan! Saya –seperti halnya para ibu di luar sana- adalah perempuan hebat yang diciptakan dengan unik dan istimewa. Ibu bekerja dan ibu sepenuh waktu, keduanya sama mulianya. Hanya beda tantangan yang harus dihadapi. Tapi satu hal yang pasti: semua ibu berhak bahagia!

So, keep shining and stay happy… Mommies.
Love,
Bety