Table of Contents

Pagi belum lagi datang saat saya menyelonjorkan kaki di depan tivi. Rasanya, lelah semalam masih tersisa di badan, setelah merampungkan bertumpuk-tumpuk baju setrikaan hasil endapan mencuci beberapa hari terakhir. Musim hujan yang mulai datang membuat cucian harus bergantungan lebih lama di tiang jemuran. Dan akhirnya mengantri untuk dilicinkan.

Saya mengusap wajah sebentar. Mencoba mengusir sekelebat perasaan hampa yang tiba-tiba menyapa. Masih tersisa dalam ingatan saya pertengkaran kemarin sore dengan si Kakak. Entah karena faktor lelah yang mendera dengan sangat, atau memang kelakuan si anak mbarep yang luar biasa, saya meledak hebat. Dan, begitulah. Si kakak ngambek, dan saya terluka.

At the end, saya memang menyesal –sangat menyesal– telah bersikap salah. Bagaimanapun juga, anak-anak tetaplah anak. Belum bisa berpikir jernih dan dewasa. Saya yang seharusnya bijak bersikap dan nggak malah menjadikannya tempat pelampiasan.

Gusti… mata saya makin berair. Bukan ini yang saya mau. Tapi, tuntutan tugas dan tanggung jawab harian sering kali membuat saya exhausted, begitu kelelahan, dan akhirnya merasa tertekan dan useless.

Beginikah nasib saya? Lulusan cum laude universitas terkenal, murid favorit dan salah satu yang terpandai di sekolah, mantan bankir yang selalu rapi dan modis, kini berakhir di balik sangkar emas yang begitu megah. Ah.. saya mengusap mata yang memanas.

Detak jarum jam dinding membuyarkan lamunan. Hari akan segera pagi. Itu artinya segudang kerjaan sudah menanti. Mulai memasak, menyiapkan segala keperluan sekolah anak-anak, mengantar mereka sekolah, hingga mencuci, mengepel, merapikan rumah and… many more. Rasanya waktu 24 jam nggak pernan cukup untuk mengerjakan segalanya. Belum lagi deadline kerjaan yang nggak bisa ditunda. Semuanya membuat otak saya sangat sibuk, bahkan sebelum semuanya saya kerjakan.

 

 

♥♥♥

 

Working Mom Vs Full Time Mom

Cerita di atas bukanlah fiksi. Sejak memutuskan resign dari kantor dan menjadi ibu sepenuh waktu, saya menanggalkan semua “kemewahan” ibu bekerja. Outfit branded yang elegan, high heels super cantik, tas kerja yang indah, lunch meeting dengan klien atau nongkrong cantik bareng girls squat di cafe langganan tinggal kenangan. Semua berganti dengan jam kerja full 24 jam, lengkap dengan segala propertinya. Sapu, setrikaan, mesin cuci, pisau, dan semua peralatan dapur lainnya.

Make up mahal? Lupakan sejenak!

Berjibun kerjaan yang berderet manja seperti kereta api jauh lebih penting untuk diselesaikan daripada sibuk mengurus muka yang sudah mirip panci penggorengan. Badan yang bau asem karena keringat, dan daster bolong kebangsaan menjadi penghias hari-hari saya yang sunyi tapi gaduh. Rasa lelah yang menghimpit, acap kali membuat temperamen saya naik dan mudah marah.

Mungkin terdengar lebai, tapi itulah yang saya alami. Dulu, tak pernah saya bayangkan menjadi full time mom itu akan seheboh ini. Saat masih duduk manis di balik meja kantor, saya pikir si mbak di rumah pasti lagi asik menonton tivi atau gogoleran di kamar. Sementara saya sibuk membanting tulang mencari uang bersama suami. Sekarang, giliran saya menjadi full time mom with no maid, alias nggak punya ART, rasanya begitu luar biasa.

Sementara, untuk menggaji ART dengan posisi pencari nafkah hanya kepala rumah tangga kok rasanya nggak tega. Toh saya masih bisa mengerjakan tugas yang ‘kayak gitu doang’. Tapi… kenyataan ternyata nggak seindah bayangan.

Adakah yang merasa senasib dengan saya?

 

Jurus bahagia jadi ibu

Melihat senyumnya, membuat saya berenergi

Masalah klasik yang dihadapi oleh full time mom tanpa ART

♦ Lack of energy

Berada 24 jam di rumah dengan rutinitas yang sama, sering kali menjadi alasan para ibu merasa wajib untuk menyelesaikannya. Mulai dari urusan dapur hingga kasur semuanya harus kepegang. Nggak heran kalau energinya terkuras habis. Apalagi, kalau punya balita dan nggak pakai jasa ART.

 

♦ Lack of happiness

Saya percaya semua orang pengin bahagia. Tapi nggak semua orang punya cara yang tepat untuk mewujudkannya, terlebih jika tubuh dan pikiran dalam kondisi yang tidak baik. Perempuan pada dasarnya adalah makhluk sosial yang banyak membutuhkan interaksi antar manusia. Kebayang kan, kalau seharian penuh dia berada dalam rumah dan minim interaksi? Belum lagi beban kerjaan yang menumpuk, menambah macetnya tombol bahagia dalam otaknya.

Me time? Aduh, itu mah kemewahan tiada tara.

 

♦ Feeling useless

Penghargaan adalah sesuatu yang paling diinginkan olen setiap orang. Hal ini berkaitan erat dengan harga diri dan pengakuan pada eksistensi dan kemampuan seseorang. Nah, bagi full time mom yang notabene memiliki begitu besar tanggung jawab tapi sangat minim penghargaan, hal ini bisa menjadi beban tersendiri.

Jika ibu bekerja bisa mendapatkan apresiasi dari atasannya, lalu dari manakah ibu sepenuh waktu mendapatkan hal ini? Hampir tidak pernah, kan, kita mendengar seorang ibu yang memperoleh penghargaan atas pekerjaan rumahnya? Terlebih jika hal ini dikaitkan dengan urusan finansial. Sangat mudah menemukan ibu-ibu yang hopeless karena nggak punya income pribadi.

 

Jurus bahagia jadi ibu

Meski sering berdebat, sebenarnya kami saling menyayangi 😍

 

MOM is a reflection of WOW

Masalah memang selalu ada. Sebab sejatinya, hidup ini nggak pernah lepas dari problema. Begitupun saya. Trust me, Moms, I’ve been there before. Saya pernah berada pada posisi ibu bekerja yang harus menitipkan anak pada pengasuh sepanjang hari. Dan saat ini saya sedang menjalani peran sebagai full time mom tanpa ART yang musti jungkir balik mengatur waktu dan tenaga untuk menghandle semua hal di rumah. Plus masih menyediakan waktu untuk tetap produktif dari rumah.

Apakah saya nggak pernah down? Ahahaha boong banget kalau saya bilang nggak pernah ya? Buktinya, saya berkali-kali jatuh dan memaksa diri untuk bangkit lagi.

Begitulah peran perempuan. Kita ditakdirkan sebagai penolong bagi suami dan anak-anak. Penolong itu sejatinya selalu lebih kuat ketimbang yang ditolong, bukan? Jadi semestinya kita menjalani peran itu dengan tough, kuat, dan nggak cengeng.

 

"Dadi ibu kui rasah kakehan sebut,"
ucap seorang ibu yang saya ajak berbincang
di suatu pagi di rumah sakit.
"Yang mau menjadi ibu itu
kan kita sendiri.
Jangan menjadikan anak
sebagai kambing hitam 
dari semua kerepotan
yang harus kita tanggung.
Lagipula, anak-anak itu akan dewasa
dengan saaangat cepat.
Saat mbak setua saya, njenengan akan
merindukan masa-masa repot ini.
Percayalah," lanjutnya bijak.

 

Yes, MOM is a reflection of WOW!

Ibu itu luar biasa. Ibu punya kekuatan yang nggak ada habisnya. Hanya saja, kita perlu mencari tahu di mana sumber kekuatan itu berada.

Tetapkan prioritas

Segala sesuatu perlu penempatan yang tepat. Demikian juga dengan kondisi ibu rempong tanpa pembantu macam saya ini. Sekarang bukan saatnya untuk menye-menye manja dan berharap belas kasihan pada orang lain melihat kondisi kita yang “memprihatinkan”.

Berhubung begitu banyak tugas menanti di rumah, maka kita yang harus pandai mengatur waktu dan tenaga agar semuanya bisa dihandle. Jangan berharap menjadi supermom dalam segala hal. Pilah dan pilih mana tugas yang urgen dan harus segera diselesaikan, mana yang masih bisa menunggu. Kalau perlu, kita buat jadwal harian dan mingguan. Dengan begitu, kita bisa ancang-ancang kapan saatnya harus ngegas, kapan boleh rileks.

 

Berbagi!

Anak-anak dan rumah tangga pada hakikatnya adalah tanggung jawab berdua dengan suami. Jadi, jangan ragu untuk berbagi. Meski suami memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mencari nafkah di luar rumah, bukan berarti semua urusan rumah tangga menjadi kewajiban istri secara saklek. Nggak ada salahnya, bukan, kalau ayah sesekali memandikan anak balitanya, atau menemaninya belajar? Menggantikan jadwal mencuci atau pergi ke warung makan untuk membeli makan malam saat kita capek?

Semua bisa dibuat sederhana dan enak buat semuanya kok. Kita hanya harus membicarakannya dengan baik-baik, tentang bagaimana suami dan istri bisa saling mendukung dan menolong.

 

Miliki me time

Saya sangat percaya setiap orang butuh waktu berkualitas untuk dirinya sendiri. Hal ini sangat penting demi menjaga keseimbangan hidupnya. Karena itu, meski sibuk mengurus rumah dan anak-anak, usahakan untuk tetap memiliki waktu khusus untuk diri sendiri.

Kalau saya, menonton DraKor atau bisa mandi dengan tenang di sore hari adalah saat-saat me time yang sangat menyenangkan. Terkadang, saya juga membaca novel favorit di kala anak-anak tidur siang.

 

Sayangi diri sendiri

Saat masih gadis, semua perempuan pasti punya waktu banyak untuk mengurus diri sendiri. Hal inipun sangat diperlukan ketika kita sudah menjadi ibu dan istri. Menyayangi diri sendiri ini bukan berarti kita harus menghamburkan banyak waktu dan uang untuk perawatan fisik semata. Tapi bisa kita lakukan dengan beragam hal kecil namun berarti.

Jangan pernah menyesali bentuk tubuh yang melar seusai melahirkan, kaki dan tangan yang kasar karena gerusan sabun cuci dan detergen, atau rambut yang rontok dan pecah-pecah karena nggak pernah sempat nyalon. Jangan pula galau dan sedih melihat perempuan lain yang masih asyik melenggang di atas high heels berkawan diktat dan file-file laporan yang menjadi rutinitas hariannya. Apalagi jadi bete melihat postingan teman lama yang sedang asyik liburan di luar negeri, sementara kita terkungkung dalam rumah.

Orang Jawa bilang, urip kui swang sinawang. Artinya kurang lebih sama dengan “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri”. Kehidupan orang lain selalu nampak lebih enak dan indah ketimbang hidup kita. Padahal kenyataannya belum tentu demikian. Kita hanya harus bersyukur betapa hidup itu indah, meski terkadang rempong.

 

Tetaplah produktif

Meski di rumah tanpa ART dan harus menyelesaikan beragam tuntutan, kita masih bisa tetap produktif. Caranya? Temukan hobi dan passion dalam diri dan kembangkanlah itu.

Saya sendiri menjadikan passion menulis sebagai hobi yang menghasilkan. Selain menjadi tempat curhat, menulis di blog pribadi menjadikan saya lebih bahagia, mendapatkan banyak teman baru dan sekaligus memperoleh income. Selain itu, saya juga menulis buku, baik buku solo maupun antologi bersama teman-teman penulis perempuan di seluruh nusantara. Beberapa di antaranya bahkan stay di luar negeri.

Mommies punya passion lain? Silakan aja dieksplor dan jadikan sebagai sarana untuk tetap eksis dan produktif dengan cara yang positif.

Well, saya memang bukan ibu yang sempurna. Seperti yang saya tulis di atas, ibu bukanlah supermom yang bisa menghandle semua hal dengan sempurna. Ibu tetaplah manusia, bukan malaikat tanpa sayap yang nggak bisa lelah. Bukan pula robot yang nggak punya perasaan.

Dengan memahami itu semua, saya jadi lebih rileks dalam menjalani hidup setiap hari. Saya nggak ingin terbebani lagi dengan bermacam urusan yang saya tahu itu bukan kapasitas dan bagian saya. Release dan berdamai dengan diri sendiri, mensyukuri semua yang saya miliki, itu jauh lebih melegakan dan membuat dada saya tak lagi sesak. Saya mencoba meletakkan ego dan menggantinya dengan kasut kerelaan saat melayani keluarga kecil, orang-orang terbaik yang Tuhan kirimkan dalam hidup saya. Sebab, sejatinya merekalah sumber bahagia saya, kini dan nanti.

Bagaimana dengan kalian, Dear Mommies?

 

 

#HariBloggerNasional#MomsxClaris #MothersOnMission #MoMsAppreciatesBlogger