Tulisan ini saya buat hampir empat tahun yang lalu..

Semoga menginspirasi …..

Hari itu adalah petang yang sangat muram. Seluruh kota diguyur hujan deras seharian penuh. Kebetulan hari itu saya pulang sendiri. Biasanya, suami saya menjemput dan kami pulang bersama. Tapi hari itu dia sedang betugas keluar kota jadi dengan sedikit malas dan mengomel, mau nggak mau akhirnya saya harus pulang.

Bagi saya, itu bukanlah hari yang menyenangkan. Karena sudah seminggu itu saya harus menyelesaikan sebuah kasus yang lumayan berat di kantor. Kepala pening dan rasa letih membuat saya tambah bete di angkot yang membaw saya ke rumah. Sepanjang perjalanan, saya hanya ingin cepat sampai di rumah. Membayangkan betapa enaknya mandi dengan air panas, minum secangkir kopi panas dan bermain bersama Rafael. Hmm…pasti nikmat.

Hujan menyambut kedatangan saya di depan kompleks rumah. Setengah berlari saya segera menghampiri beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di tempat itu. Tak sampai lima menit sampailah saya di depan rumah.

“Mami…mana hoka-hoka bentonya?” sambut Rafael tepat saat saya membuka pintu. Wajah polosnya membuat saya terpaku sesaat. Saya rasa tadi pagi dia tidak meminta saya untuk membelikan makanan kesukaannya itu. Karenanya saya menjawab dengan heran “Lho, kamu kan nggak minta mami beliin tadi pagi..?”

Seketika Rafael meonjak dari sofa dan mulai merengek. Sambil merengut, dia mendekati saya dengan tatapan yang seolah menyalahkan saya mengapa tidak mengerti keinginannya. “Mami, aku kan pengen hoka-hoka bento, kenapa mami nggak mau beliin aku..?huhu..” Dan air mata mulai meleleh di pipi mulusnya yang gembul. Saya berusaha memberikan pengertian kepadanya dan berjanji besok akan memenuhi keinginannya tersebut. Tapi Rafael sedang tidak bersahabat petang itu. Bukannya mendengarkan penjelasan saya, dia malah semakin kencang berteriak. Tangannya semakin kuat mencengkeram kedua kaki saya yang kedinginan tersiram air hujan tadi.

Saya yang sedang kecapekan, pening dan kedinginan mendadak marah. Sambil sedikit mengibaskan kaki, saya berusaha melepaskan cengkeraman Rafael dan berjalan memasuki kamar untuk mengganti baju. Namun nampaknya Rafael tak ingin mengalah, segera dia membuntuti langkah saya disertai tangis yang semakin keras.

Di tengah derai airmata Rafael, saya terus saja tak menggubrisnya dan mengganti baju. Setelahnya saya berniat mandi dan beristirahat. Namun Rafael tambah bertingkah. Ditutupnya pintu lemari dan diacak-acaknya beberapa baju yang sedianya akan saya pakai. Kontan emosi saya tambah memuncak. Tanpa sadar saya mulai memarahinya.

“Mami kan capek, dek… Lagian kamu juga tadi pagi nggak bilang mami kalo minta dibeliin kan?? Mami kan kerja, bukannya main-main. Besok deh, mami beliin..” Oceh saya panjang lebar sambil memasang tampang masam.

“Mami sih nggak tau aku pengen itu…. Mami harusnya tau..kannn….” rajuknya sambil mulai memukuli saya. Mungkin dia bisa merasakan api amarah saya, jadi dia berusaha membalasnya dengan memukul seperti itu. Beberapa menit berlalu dalam kobaran amarah di antara kamu berdua. kepala saya semakin pening dan tangis Rafael semakin keras.

Beberapa saat kemudian, otak saya tiba-tiba tersentak. God, bukankah ini anak yang Kau titipkan pada saya untuk saya asuh dengan kasih sayang? Bukannya dengan amarah seperti ini? Untuk apa saya capek-capek kerja kalau akhirnya hanya menghasilkan amarah kepada buah hati saya? Seketika ombak kesadaran dan naluri keibuan saya menyentak. Perlahan saya raih kepala Rafael dan saya elus dengan sayang.

“Mommy says sorry ya…Bukannya mami nggak mau beliin Rafael, tapi memang karena mami nggak tau. Besok pasti mami beliin. Okay? Stop crying now…huge mommy..” bujuk saya sambil terus memelukknya. Sudah menjadi kebiasaan saya memeluknya seperti ini saat menaklukkan amarah Rafael. Maklum dari kecil dia termasuk tipikal anak yang harus banyak dibelai. Sebetulnya Rafael sangat jarang melampiaskan amarahnya dengan memukul seperti kali ini. Kami –saya dan suami- sepakat untuk mengajarinya dengan kasih sayang. Jadi sebisa mungkin kami mengajarinya me-maintain emosi agar memiliki karakter yang penuh kasih. Setiap kali dia melsayakan kesalahan, saya dan suami mencoba mencari tau penyebab kemarahannya dan memberikan pengertian sambil menenangkannya. Makanya, sore itu saya agak terkejut mendapati Rafael begitu mengamuk.

Setelah beberapa menit berusaha menenangkan amukan Rafael, akhirnya dengan badan terkulai dan keringat membajiri sekujur tubuhnya, Rafael terisak dalam pelukan saya. Tangisnya mulai mereda dan kedua tangan mungilnya sekarang memeluk saya erat-erat.

“Besok mami beliin aku hoka-hoka bento ya…Jangan lupa lagi…” rajuknya sambil sesekali mengusap hidungnya yang masih berair. Saya anggukkan kepala sambil terus mengusap punggungnya penuh kasih. Dan malam itu, Rafael tidur dengan tenang setelah sebelumnya beberapa kali dia masih mengingatkan saya untuk membelikan pesanannya besok.

Kadang kita mengalami hal yang sama. Seringkali waktu kita habis untuk memikirkan pekerjaan, rumah tangga, dan seabreg masalah lain. Saya yakin, tujuan akhir yang ingin kita capai adalah “membahagiakan orang-orang tersayang” tapi acapkali kita lupa memasukkan mereka dalam daftar “orang-orang yang harus dilayani”. Dilayani dalam arti yang sesungguhnya : kita merendahkan diri, menyingkirkan ego dan berusaha mengerti keadaan mereka. Terkadang kita lupa untuk memberikan porsi lebih bagi mereka. Kita lupa untuk apa kita bekerja keras.

Jika saya sebagai seorang ibu tidak bisa mengerti keinginan Rafael, saya jadi berpikir bagaimana jadinya kalau semua keinginan yang tak sempat saya utarakan kepada Tuhan nggak bisa kesampaian? Bagaimana jika Tuhan nggak ngerti kemauan saya? Bagaimana saya bisa memperoleh impian saya? Saya punya seratus ribu mimpi dan keinginan yang terkadang –karena keterbatasan saya sebagai manusia- tidak sempat saya beritahukan kepada Bapak saya di surga…?

Sampai kepada titik itu saya terdiam. Betapa egoisnya saya. Menghadapi rengekan Rafael beberapa menit seperti ini saja sudah membuat kepala saya serasa mau pecah. Terbayang saat saya menginginkan sesuatu dan merengek –sekaligus mengancam- kepada Bapak dan Bapak saya marah…..apa jadinya? God, kaki saya mendadak lemas.

Betapa beruntungya kita memiliki Bapak di Surga. Bapak yang tidak pernah memarahi kita karena alasan yang nggak jelas. Bapak yang selalu sabar, meskipun kita bertingkah sangat aneh. Bapak yang nggak pernah membenci kita even itu hanya untuk sedetik. Bahkan mungkin dalam sedetik itu kita udah jadi anak yang super duper nyakitin hatiNya. Tapi Dia selalu menerima kita….apapun yang terjadi. Apapun yang kita inginkan, bahkan meski kita belum sempat mengungkapkan apapun kepadaNya, Dia nggak pernah protes. Dia hanya minta dua hal : waktu dan kesetiaan. Beri Dia waktu untuk menggenapi semua janjiNya, dan kerjakan bagian kita.

“Ku tak pernah tertidur..
Tak pernah lalai….
Tangan-Ku slalu menopang dirimu…
Percayalah pada-Ku..
Datang pada-Ku…
Ku slalu setia….
Padamu…”