books-1757734_640

Yeayy!
Setelah berminggu-minggu absen (lagi) dari ngeblog, akhirnya saya balik lagi, pemirsah! Yes, sebagai penulis multitalenta dan ibu rumah tangga yang luar biasa sibuk, saya harus pinter-pinter bagi waktu dan tenaga untuk ngerjain banyak hal, hihihi… lebaayyyy!

Meski blog ini sering sepi, bukan berarti saya berhenti nulis ya, Moms… Saya masih tetap nulis di banyak tempat, termasuk nyiapin buku parenting kloter kedua yang masih tahap awal. Mohon doanya yes.

Well, kali ini saya lagi hepi nih. Pasalnya, hari ini resensi buku yang saya tulis akhirnya nangkring cantik di media nasional, yakni Koran Jakarta. Meski masih belum nembus media cetak, gak apa lah, bagi saya ini sebuah prestasi yang pantas dibanggakan.

Menulis resensi buku itu gampang-gampang susah. Gampangnya, ya kita tinggal nulis aja apa yang jadi intisari buku yang sudah kita baca, trus jangan lupa catet juga kelebihan dan kekurangan buku itu. Hal ini akan jadi bahan pertimbangan yang berguna bagi orang lain, saat akan membelinya. Nah masalahnya, untuk bisa tayang di media cetak atau online skala nasional itu kita nggak bisa bikin tulisan yang biasa-biasa aja. Kita harus menyesuaikan diri dengan karakter masing-masing media. Tul, nggak Mom?

Berawal dari sekadar iseng ngintip tatacara penulisan resensi buku, saya akhirnya blog-walking deh. Niatnya pengen nyari referensi media mana sih yang nerima resensi buku dan tentunya yang berbayar ahahaha.. Matre ya saya? Ya iyalah Mom, nulis itu kan butuh skill, butuh energi, butuh kecerdasan tingkat tinggi *uhuk*

Jadi, sebisa mungkn saya berusaha menghargai diri saya sendiri dengan mencari media yang mau membayar kerja keras saya itu. Memang, di awal-awal karier kepenulisan dulu, saya sempat menggratiskan diri ke sana kemari. Balasannya ya ilmu dan pengalaman berharga yang sampai sekarang saya miliki.

Oke, balik lagi ke kisah resensi buku di atas ya. Saat blog-walking, saya berhenti pada sebuah blog yang menulis tentang bagaimana mengirimkan resensi buku ke Koran Jakarta. Jujur, saya belum pernah mendengar apalagi membaca tentang koran online ini. Tapi lihat dari postingan Mbak Hairi Yanti, sang pemilik blog, saya jadi mupeng dan serius mau ngeresensi buku-buku baru di rumah.

Hanya dengan modal nekat, saya nulis resensi buku yang pertama. Nggak pernah punya pengalaman training resensi buku, nyatanya membuat tulisan pertama ini mental dengan sukses. Tapi, yang saya salut di Koran Jakarta ini, mereka mau ngasi tahu kelemahan kita. Apa yangmembuat mereka nolak tulisan kita, dan bagaimana harus menulis resensi yang mereka inginkan. Memang sih, kritiknya udah kek kripik Mak Icih lepel 20 jiaahahahahaha…. So, tulisan pertama sukses bikin saya dongkol.

Tulisan kedua, masih sama. Saya dapet imel malem-malem. Nggak cuma dikomenin soal tulisan, saya juga dikasi komen soal data diri yang alay abis haahahahaha… parah ini mah. Nggak perlu nunggu beberapa menit, dalam hitungan detik, mood saya langsung hancur. Saya kesel banget, kenapa belum juga lolos. Nah, saking keselnya, saya mandeg, ngambek nggak mau nulis resensi lagi. Pedahal, yang rugi siapa? Ya saya sendiri kan hihihi… hadeewww.

Dari situ, saya bangkit lagi. Saya nulis, kirim, ditolak, nulis lagi, kirim ditolak lagi. Nah, tulisan yang kelima inilah yang akhirnya nyangkut di hatinya Mas redaktur dan akhirnya nangkring cantik deh hari ini. Teman-teman bisa membaca tulisan saya yang tayang setelah diedit oleh redaktur di link berikut ini.

Nah, kalau yang ini tulisan asli yang saya kirimkan.

Screenshot_2017-09-20-17-07-38-01

Screenshot_2017-09-20-17-07-44-1-01

Teman-teman bisa bandingkan sendiri ya perbedaannya 😊😊

Oke, segitu dulu deh celotehan hari ini. Semoga bermanfaat sharing saya kali ini. Mau nanya or komen? Dengan senang hati saya balas ya nanti…

Keep writing, Moms!