“Gini, lo Mi, caranya. Mami tinggal klik yang ini, trus pin gambar yang mau Mami edit ke sini. Kalau udah nanti tinggal di-save.”

Saya melongo sambil manggut-manggut menyimak penjelasan Rafael, anak sulung saya yang masih duduk di kelas VIII itu. Pandangan saya tertuju lurus ke arah layar laptop. Sesekali saya melirik ke arah si Sulung yang tampak cekatan dan mantab mengutak-atik aplikasi picture editor.

Ini yang namanya Kebo nusu gudel. Batin saya setengah meringis.

Peribahasa Jawa itu kurang lebih menggambarkan seseorang yang lebih tua menimba ilmu kepada anak muda. Sebuah gambaran yang mungkin dipandang ironis di mata penganut nilai-nilai  kuno alias jadul.

Namun, di zaman now ini banyak nilai-nilai sosial yang mulai bergeser. Kejadian seperti yang saya alami di atas sepertinya sudah menjadi sesuatu yang umum dalam masyarakat kita. Generasi milenial yang notabene lahir setelah tahun 2000, seakan memiliki genetika digital dalam darahnya. Hal inilah yang membuat mereka sangat akrab dengan yang namanya teknologi dan segala tetek bengeknya. Dan salah satu bentuk teknologi yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari adalah gawai semisal ponsel pintar, laptop, komputer, kamera, dan lain sebagainya.

Popularitas gawai di kalangan anak-anak dan remaja ini tidak lepas dari keberadaannya yang begitu menggoda. Benda ajaib ini menawarkan dimensi suara, gerak, dan visual dalam saat yang bersamaan. Sesuatu yang sudah pasti tidak dimiliki oleh media lain, seperti buku misalnya. Hanya televisi yang bisa menyainginya. Namun, dalam hal eksistensi, layar kaca ini jelas kalah karena tak bisa dibawa ke mana-mana seperti gawai. Ini artinya, gawai melenggang tanpa lawan.

Tidak bisa dipungkiri, sebagai orang tua saya juga harus mengikuti irama ini, suka atau tak suka. Mau atau tidak mau. Memiliki anak yang hidup di alam kekinian, menuntut saya selalu up-to date. Dunia yang mereka hidupi sekarang sangat dinamis, futuristik dan adiktif. Tak heran kalau di tahun 2013 saja, ada 40 persen anak Indonesia yang sudah melek teknologi dan sangat familiar dengan internet.

Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak

Dilansir dari laman liputan6.com, sebuat survey yang dilakukan oleh Kementerian Informasi dan UNICEF tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 5 besar negara pengguna gawai, khususnya ponsel pintar (smartphone). Dan yang lebih mencengangkan, 79.5% dari pengguna gawai itu adalah mereka yang berusia anak-anak hingga remaja. Kebanyakan dari pengguna ini memanfaatkan gawai untuk mencari informasi, hiburan, hingga menjalin interaksi sosial (sumber: detikNET, 3/2/2014).

Hal ini tentu saja membawa banyak konsekuensi. Dan sebagai orang tua, saya sadar bahwa saya harus mengambil peran untuk mengontrol anak-anak agar tetap berada pada jalur tumbuh kembang dan asuhan yang benar.

Mampir sini ya : Do’s and Don’ts Mendidik Anak Versi Saya

Sebelum saya bercerita lebih banyak, mungkin teman-teman perlu tahu bahwa anak sulung saya ini punya cita-cita yang bagi sebagian orang tua mungkin agak unik. Apakah itu?

Dia begitu tergila-gila dengan semua hal yang berbau tekno dan seni. Sejak masih kelas 3 SD, dia sudah bermimpi menjadi Youtuber. Beranjak besar, cita-citanya sedikit berubah, yakni menjadi visual designer. Namun minatnya yang besar pada musik dan animasi, nampaknya juga sempat membuatnya “galau”. Jadilah dia sekarang tertarik untuk mengejar mimpi menjadi music arranger dan video/film maker.

Dengan kondisi seperti itu, sudah jelas saya tak bisa terlalu ketat membatasi pemakaian gawai. Bagaimanapun juga, dia perlu mengakses banyak informasi tentang dunia seni dan teknologi ini dari gawai. Apalagi saat ini ada banyak tugas sekolah yang juga mengandalkan gawai sebagai salah satu perangkat atau media belajar. Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya ada murid yang tidak memiliki gawai? Wah, harus ke warnet atau meminjamnya kepada saudara atau tetangga, dong. Duh, ribet banget ya.

Sebagai orangtua (yang berusaha untuk) bijak, saya tak ingin panik. Yang saya perlu lakukan adalah mencari  cara jitu hindarkan anak dari konten negatif gawai. Misalnya dengan memantau secara rutin pemakaian gawai pada anak, menemaninya saat mempergunakan laptop atau komputer, dan mengajaknya berdiskusi tentang pentingnya self awareness saat berselancar di dunia maya.

Berbeda halnya cerita anak kedua saya yang masih balita. Di sekolahnya yang masih TK A, dia sudah mulai dikenalkan pada komputer. Meski masih dalam level dasar, minimal anak-anak TK ini diajak untuk mengenal beberapa perangkat keras komputer dan bagaimana menggunakannya. Belum lagi kalau dia sedang bermain gim. Luar biasa pandainya. Nah, kalau anak-anaknya saja sudah berkenalan dengan teknologi, mosok iya sih saya mau kudet dan katrok? Bisa-bisa saya seperti katak dalam tempurung.

Teknologi kekinian yang ada di sekitar kita memang menawarkan begitu banyak kemudahan dan manfaat. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita nyaris tak mungkin menolak untuk bersinggungan dengan hal ini. Namun, kita pun tak boleh memungkiri bahwa selalu ada hal negatif di balik segala sesuatu.

Di luar sana, ada begitu banyak hal yang bisa memengaruhi terbentuknya pola perilaku dan karakter pada anak. Makin banyaknya orangtua bekerja, semakin sibuknya para anggota keluarga hingga terbatasnya waktu berkumpul bersama, menjadi salah satu pemicu makin tingginya degradasi mental pada generasi muda. Pola asuh yang terlalu permisif atau justru protektif dari pengasuh (ART, baby sitter, kakek, nenek atau orang lain), juga bisa menjadikan anak pribadi yang buruk.

Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak

Tingginya pemakaian gawai tanpa kontrol yang tepat, orangtua yang terlalu mempercayakan pendidikan anak pada pihak ketiga, bisa jadi membuat kondisi ini makin parah.

Lihat saja bagaimana para remaja dengan mudah terjebak dalam situasi yang memprihatinkan karena pergaulan di media sosial yang tidak terkontrol. Atau anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual dari orang dewasa yang ada di sekitarnya, dan makin meningkatnya kasus-kasus kriminal yang melibatkan anak-anak dan remaja sebagai pelakunya. Semua ini adalah sebagian kecil dari dampak buruk kehidupan masyarakat di era kekinian yang semakin permisif. Di sinilah keluarga seharusnya memainkan perannya dengan baik.

Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak

Sesuai artinya, keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal dalam satu tempat dalam keadaan saling ketergantungan, maka sudah barang tentu keluarga memiliki tanggung jawab paling besar dalam mendampingi dan membentuk karakter anak-anak di dalamnya. Dalam hal ini ayah dan ibu sebagai pendidik utama.

Di titik ini, saya sangat menyadari hal ini. Karena itulah, saya dan suami sepakat menjadikan keluarga sebagai salah satu tiang penyokong tetap tegaknya akhlak dan karakter mulia pada anak-anak kami. Kami ingin anak-anak tetap bergantung kepada kami, orangtuanya, sebagai poros kehidupannya. Bukan gawai, teman-teman, hobi, dan yang lainnya.

 

Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak

Pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Inilah yang harus dipahami oleh orangtua. Dengan demikian, kita harus mulai mendidik anak sejak dini agar mereka bisa menjadi manusia yang beradab, berakhlak dan berpendidikan akademis yang tinggi.

Baca juga : Kenali Kepribadian Anak dari Golongan Darah

Berikut ini adalah beberapa peran dasar keluarga:

Peletak dasar yang benar

Orangtua (khususnya ibu) adalah orang pertama yang menanamkan beragam kebiasaan baik, etika, sopan santun dan nilai-nilai sosial budaya dan agama kepada anak-anaknya. Hal ini bisa dilakukan sejak (calon) anak masih dalam kandungan, dan berlanjut terus hingga mereka dewasa.

 

Peran Keluarga dalam pendidikan karakter anak

Role Model

Ayah dan ibu adalah panutan dalam segala hal. Apapun yang mereka perbuat dan katakan, anak-anak akan menirunya. Pola-pola komunikasi dari ayah dan ibu akan sangat memengaruhi terbentuknya pribadi anak. Jadi, dalam hal ini orangtua harus ekstra berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Bagi orangtua yang meninggalkan anak bersama pengasuh atau orang lain, sebaiknya kita tetap melakukan pengawasan dan mencari orang yang benar-benar bisa diandalkan.

Penghubung

Adanya beberapa anak dalam keluarga, bisa membuka peluang terjadinya perselisihan, pertengkaran dan perbedaan pendapat. Orangtua harus bisa menjadi penghubung yang tepat, adil dan hangat. Anak-anak harus menemukan rasa aman dan nyaman saat berada di lingkungan rumah, merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anak. Jika tidak, bisa saja mereka mencari pelampiasan di luar, termasuk dengan bermain gawai dan lain sebagainya.

peran keluarga dalam pendidikan karakter anak

Apresiator

Setiap anak berhak menerima penghargaan dan pujian atas dirinya, dan atas apa yang dilakukannya. Di sinilah peran keluarga sangat penting. Anak akan merasa berharga, diterima dan dicintai. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang terbuka, ramah dan mudah berkomunikasi.

Pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak di atas, membuat saya dan suami makin sadar bahwa kami harus mendampingi anak-anak dalam tumbuh kembang mereka. Karena itu, sejak kecil saya selalu berusaha hadir untuk mereka. Meski ada ART di rumah, saya selalu menjadi orang pertama yang melayani dan mengurus anak-anak. ART hanya sebatas membantu pekerjaan, terutama saat saya tidak di rumah.

Demikian juga dengan pendidikan formal mereka di sekolah. Kami benar-benar mempertimbangkan masak-masak sebelum memilih sekolah yang paling ideal dan sesuai dengan kriteria keluarga. Meski sekolah memiliki staf pengajar, guru-guru yang super baik dan ahli di bidangnya, saya dan suami tidak pernah menyerahkan tanggung jawab pendidikan mereka 100 persen kepada pihak sekolah. Sebisa mungkin, kami menyediakan waktu untuk mendampingi anak-anak dalam proses pembelajaran, terutama saat di luar sekolah.

Yang Kami Lakukan untuk Menunjang Pendidikan Anak

Mendampingi anak belajar di rumah

Saya selalu ada saat anak belajar di rumah, seperti saat mereka mengerjakan PR, belajar harian, ataupun les privat. Walaupun ada guru yang saya panggil ke rumah, saya tetap mengawasi dari jauh. Hal ini saya lakukan sejak masih bekerja kantoran, maupun sekarang saat menjadi ibu sepenuh waktu.

Memfasilitasi kebutuhan belajar anak

Seperti orangtua lainnya, saya pun menyediakan berbagai kebutuhan yang mereka perlukan untuk belajar, baik di sekolah ataupun di rumah. Seperti peralatan menulis, komputer, laptop, ataupun berbagai hal kecil lainnya. Sepanjang kami bisa mengusahakan yang terbaik, segala fasilitas dan kebutuhan belajar mereka kami penuh. Meski demikian, hal ini tidak berarti  kami selalu memanjakan mereka.

 

Peran keluarga dalam pendidikan karakter

Perpustakaan mini di rumah

Mendorong minat baca anak-anak

Di era digital saat ini, masyarakat semakin lengket dengan teknologi non buku. Sebagai seorang penulis, saya sadar bahwa anak-anak harus tetap mencintai buku dan mendorong mereka untuk gemar membaca. Hal ini saya lakukan dengan menciptakan perpustakaan mini di rumah, yang berisi beragam buku untuk anak. Selain itu, saya juga membacakan buku cerita untuk anak saya yang kecil.

Peran keluarga dalam pendidikan karakter

Beberapa koleksi buku anak

Mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan

Yang namanya anak-anak pasti suka jika diajak melakukan kegiatan yang mengasyikkan, seperti bersepeda, merangkai lego, mobil-mobilan, menggambar, mewarnai gambar, dan lain sebagainya. Terkadang, tembok rumah berubah jadi kanvas raksasa. Saya nikmati saja semua, yang penting anak-anak gembira.

 

Peran keluarga dalam pendidikan karakter

Permainan bongkar pasang balok adalah favorit anak-anak

 

Peran keluarga dalam pendidikan karakter

Salah satu kreasi saya dan si kecil

Untuk si Sulung, berhubung sudah remaja, dia biasanya menghabiskan waktu dengan bermain gitar, keyboard, melukis atau berkreasi dengan musik digital. Terkadang,  dia juga saya libatkan dalam proses editing foto atau video pesanan klien saya. Hitung-hitung sekalian belajar sambil bermain sesuai hobinya.

Ini salah satu video hasil kreasinya saat kami menghabiskan waktu di akhir minggu:

Terlibat dalam kegiatan yang diadakan sekolah

Sebagai orangtua murid, saya dan suami juga terlibat dalam beberapa kegiatan yang diadakan oleh pihak sekolah, termasuk parents meeting, family gathering, dan beberapa kegiatan yang melibatkan keluarga di sekolah. Sebisa mungkin, kami menyediakan waktu untuk anak agar mereka tahu betapa berharganya mereka bagi kami. saya juga berkonsultasi dengan para guru, ketika anak terlihat “berbeda” dari biasanya. Intinya, saya berkolaborasi dengan pihak sekolah agar kebutuhan anak terpenuhi dengan baik.

Melakukan kontrol sosial

Dunia per-gawai-an membuka peluang akses yang sangat luas bagi beragam hal, baik positif maupun negatif. Karena itu, saya membekali anak-anak (terutama si Sulung) untuk selalu mengedepankan nilai agama, sosial dan budaya saat berselancar di dunia maya. Saya pun rajin mengecek gawai anak untuk melihat aktivitas dan apa saja yang mereka akses. Hal ini terutama untuk mengantisipasi pengaruh buruk seperti pornografi, pornoaksi, narkoba, dan beragam tindakan kriminal lainnya.

Hadir untuk anak, kapan pun mereka butuhkan

Hal terakhir ini sepertinya mudah diucapkan, namun tak semudah pelaksanaannya. Terutama saat saya dan suami masih sama-sama bekerja kantoran. Sekarang, dengan status ibu sepenuh waktu, saya lebih leluasa dalam mendampingi anak-anak setiap hari. Menyaksikan tumbuh kembang dan membersamai mereka. Kapan pun anak-anak ingin berkumpul, sekadar ngariung bareng di depan TV, merangkai balok, heboh bercerita dan bercanda di kamar sebelum tidur, atau sharing yang lebih “berat” bersama si Sulung, saya berusaha untuk selalu ada di sana.

Itulah beberapa hal yang keluarga kami lakukan agar anak-anak tetap tumbuh menjadi pribadi yang baik di tengah derasnya arus teknologi. Kami sadar, perjuangan untuk mendidik anak menjadi pribadi yang unggul di era kekinian ini tidaklah mudah. Karena itu, kami berusaha untuk terus belajar dan mengikuti ritme yang ada, supaya tidak ketinggalan kereta. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi teman-teman semua. Yuk, jadi #sahabatkeluarga yang kekinian!

Terima kasih sudah berkenan mampir ya.

 

 

 

 

 

Referensi :

*www.sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4717

*7 Tip Agar Remaja Tidak Kecanduan Gadget

*www.liputan6.com/health/read/2460330/anak-asuhan-gadget

*www.wikipedia.com