“Wong wedok ki ora ono penake. Kit isuk uthuk-uthuk nganti wengi mblekuthuk ono wae gaweane. Seko uwong-uwong durung tangi nganti turu meneh, ora rampung-rampung. Nek ono panganan dikerekke.”
Perkataan almarhumah simbah putri saya bertahun lalu masih segar dalam ingatan. Kurang lebih artinya adalah: jadi perempuan itu banyak susahnya ketimbang senengnya. Dari pagi buta sampai tengah malam saat semua orang belum bangun sampai tertidur lagi, perempuan selalu sibuk sama pekerjaan rumah yang nggak pernah habis. Tapi giliran ada makanan enak, nggak dapat jatah. Kalaupun dapat, ya sisa-sisa aja.
Pengalaman masa kecil simbah dulu sepertinya begitu membekas, sampai-sampai beliau memiliki pemikiran seperti itu. Masa lalu beliau memang tidak mudah. Ya, kita tahulah ya.. jaman penjajahan sampai Indonesia merdeka itu sungguh bukan masa-masa indah penuh memori. Yang ada justru kenangan pahit, hidup susah, dan banyak lagi cerita kurang enak yang mewarnai periode itu. Karena itu, sedikit banyak saya bisa memahami sudut pandangnya melihat dunia.
Memasuki dunia pernikahan, simbah pun nggak menikmati indahnya kehidupan berumah tangga seperti kebanyakan dari kita. Punya anak banyak, dengan pekerjaan simbah kakung yang “hanya” petani membuat simbah putri harus banting tulang membantu perekonomian keluarga dengan berdagang, keluar masuk pasar.
Jangan bayangin sepeda atau motor menjadi tumpangannya ya. Bare foot alias nyeker jadi andalan utama. Bahkan sampai beberapa tahun sebelum kepergiannya, simbah selalu menolak mengenakan alas kaki, kecuali perginya sama anak cucunya.
Kita yang hidup di jaman now mungkin bisa lebih berbahagia dengan beragam kemewahan dan kesempatan yang tidak pernah ada di jaman embah-embah kita dulu. Terkadang, saya merasa kasihan pada perjuangan dan pengorbanan beliau. Tapi dari beliau juga saya belajar banyak hal tentang hidup. Bagaimana mensyukuri “jatah” yang surga tetapkan bagi kita.
Urip kui mung sak dermo nglakoni. Kudu nrimo ing pandum, ora sah ngoyo (Hidup itu ibarat kita main sandiwara, harus ikhlas menjalani peran, menerima jatah. Nggak usah terlalu berambisi.)
Mungkin karena itulah, mendiang ibuk saya juga tumbuh besar menjadi perempuan yang nrimo. Rasanya belum pernah saya melihat ibuk terlalu ngotot atau ngoyo dalam mengejar materi. Apapun yang kami miliki, diterima dan disyukuri. Selain itu, ibuk juga sangat gemi, teliti, dan rajin menabung. Semua tak lain agar keluarga kami bisa hidup dengan baik dan layak. Salah satu hal yang sangat saya syukuri (dan sayapun menerapkannya pada anak-anak) adalah pantang bagi beliau memakan makanan kesukaan anak-anaknya, kecuali kami sudah mblenger alias “mabok” dan kekenyangan.
Dari ibuk juga saya belajar banyak tentang kesabaran, hormat pada suami, dan merawat anak-anak dengan penuh kasih. Namun, saya pun belajar dari kekurangan agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Meski terkadang kami berselisih paham, bertengkar dikit-dikit, dan tangis-tangisan, tapi aslinya kami saling menyayangi.
Mungkin ya, hanya pemikiran saya doang sih, bumbu pedas dalam hubungan ibu-anak perempuan ya seperti itu. Dekat-berselisih paham-baikan-ngerumpi bareng-beda pendapat-selisih lagi-baikan lagi…. gitu aja terus hahaha. Kidding!
Menutup bulan April ini, saya cuma mau berterima kasih pada simbah putri dan ibuk saya, untuk semua contoh, teladan, kasih sayang, dan harapan yang kalian genggam dan teruskan dalam diri saya sampai saat ini. Semua perempuan itu hebat, termasuk kalian berdua. Di tengah ketidaksempurnaan kalian, saya mendapat banyak pelajaran berharga yang luar biasa.
Kalau ditanya siapa perempuan inspiratif dalam hidup saya, jawabannya ada banyak. Karena bagi saya, sejujurnya setiap perempuan itu luar biasa, dalam segala kondisi dan pergumulan hidup mereka masing-masing. Termasuk simbah putri dan ibuk saya tersayang.
So, buat kalian … para perempuan hebat di luar sana, peluk hangat dan apresiasi setinggi-tingginya dari saya, perempuan (sangat) biasa yang surprisingly sangat luar biasa ini.
Ingatlah bahwa kita semua hebat, luar biasa, kuat, dan berharga. Kita bukan kain pel yang kotor dan kumuh, meski sering kali kita harus bergelut dengan tugas rumah yang serba “kotor”. Kita adalah lampu kristal yang bersinar terang, memberikan cahaya di penjuru rumah dan pelita dalam hati orang-orang tersayang. So, be happy, be brave.. be a uniquely you!
Terharu baca kisah Mbah Putri dan Ibuknya mbok Bety. Mereka perempuan tegar dan engga pernah mengeluh deh pasti…
Kok sama yaa zaman dulu, ibu-ibu selalu mendahulukan makanan untuk anak-anak. Mereka kebagian sisanya…duh…
Setuju sekali dengan qout yang terakhir. Kita adalah perempuan kuat dan hebat walau terlihat lemah.
Mari saling menguatkan agar semua perempuan bahagia.
Zaman dimasa penjajahan dengan zaman era modern sekarang sebenarnya masih ada sebagian perempuan mengalami hal demikian.
Dikarenakan latar belakang pendidikan yang rendah ataupun kurangnya memiliki wawasan yang cukup untuk bekal ia bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Perlunya bimbingan, pelatihan, informasi yang banyak memungkin sosok perempuan terbuka pikirannya terlebih lagi bisa menjadi sosok inspirasi bagi kaum nya sendiri.
Semangat tuk kaum perempuan, kita bisa, kita berharga
Si mbah pribadi yang kuat dan keras, tapi lembut ya mbak.
Benar mbak, ibu adalah pelita di rumah, bak bola kristal yang selalu bersinar di mana pun dan kapan oun.
Salam takzim juga buat semua perempuan di seluruh dunia.
Doa terbaik untuk dua perempuan inspiratifnya Mbak Bety. Memang dari sosok yang menginspirasi membuat kita belajar banyak kebaikan dan berkaca pada kekurangan agar tidak mengulang kesalahan.
aminnn makasih mba Dian. Doa terbaik untuk mba Dian dan keluarga juga yaaa