Review Asus X555QA

 

Juni 2012. Salah satu masa paling kelam dalam hidup saya. Bukan. Bukan karena saya kehilangan seseorang  atau benda bersejarah yang begitu melekat di hati. Saya “hanya” kehilangan pekerjaan. Dan itu menjadi kado ulang tahun terindah sepanjang sejarah.

Bagi sebagian orang, kehilangan pekerjaan mungkin bukan perkara besar. Toh, mereka bisa dengan cepat loncat ke perusahaan lain dan bekerja kembali. Perkara cocok atau tidak, itu urusan nanti. Tapi, saya bukan orang yang seperti itu. Saya susah jatuh hati. Tapi sekalinya kesengsem, saya akan sulit move on. Itulah kenapa saya bertahan hampir 10 tahun di kantor ini.

Keputusan akhir untuk mundur dari perusahaan –dengan konsekuensi kehilangan semua embel-embel jabatan dan penghormatan itu- sama sekali tidak saya ambil dengan tergesa, apalagi dengan otak ngebul. Cukup lama saya memantapkan hati, berkonsultasi dengan beberapa orang yang saya anggap kapabel dan tentu saja: berdoa. Saya sadar, pekerjaan itu telah membesarkan saya dan membuat dapur keluarga kecil saya tetap hangat. Saya tak mungkin “bermain-main” dengan salah satu keputusan terbesar dalam hidup.

Pergulatan batin hampir setengah tahun, akhirnya mengantarkan saya pada hasil final: mundur dengan terhormat. Jangan tanya perasaan saya. Hati saya hancur. Pekerjaan yang hampir satu dekade telah mendarah daging dalam keseharian saya harus dilepaskan. Seperti tawanan perang yang dilucuti, satu persatu “senjata” saya lepaskan.

Tak ada farewell party yang indah. Tidak pula tatapan prihatin dari atasan dan rekan-rekan sejawat. Hanya segelintir sahabat yang selama ini setia di samping sayalah, yang berbagi haru saat kaki saya melangkah keluar. And that’s it!

 

 

Broken wings

Seekor burung terbang tinggi dengan kedua sayapnya. Rajawali menantang badai dan naik ke atas awan, untuk menaklukkannya. Tapi, bisa dibayangkan saat salah satu atau kedua sayapnya patah atau terluka. Jangankan terbang, untuk bergerak saja ia tak mampu. Begitulah yang saya rasakan. Jujur, sangat tak mudah bagi saya untuk move on.

 

Tahun 2012 benar-benar menjadi tahun yang sulit. 

 

Emosi saya sangat labil. Saya bisa menangis kapan saja, dan meledak di lain waktu. Saya merasa hidup ini tak adil. Mendadak, saya merasa Tuhan begitu jahat. Saya marah, kecewa, berontak dan memaki. Saya bahkan tak bisa lagi berdoa. Saya tak habis pikir, apa kesalahan saya hingga Ia begitu kejam mengambil semua kebanggaan saya. Pekerjaan, jabatan, penghormatan, uang, teman-teman, komunitas. Semuanya!

Saya tak hanya pusing memutar otak agar neraca keuangan keluarga tetap balance. Yang lebih berat adalah fakta bahwa saya harus bisa berdamai dengan diri sendiri. Menerima kenyataan bahwa saya jobless melukai ego saya. Hati ini sangat sakit setiap kali melewati gedung kantor saya dulu. Dan semua itu membuat saya tertekan. Saya tak lagi bisa terbang. Tak ada keinginan untuk berusaha lagi. Rasanya diri ini kosong dan tak berarti. Lebai mungkin, tapi itulah yang saya alami.

 

Pixabay

 

Well, setiap orang memiliki resistensi yang berbeda terhadap rasa sakit. Sebagian begitu kuat menghadapi badai. Sebagian lagi harus terempas dan minggir dari hiruk pikuk dunia. Dan saya termasuk bagian yang kedua ini. Saya benar-benar tak bergairah untuk maju. Saya hanya butuh diam, menyepi dan sendiri. Saya bahkan tidak melamar pekerjaan lagi, kecuali menjadi tenaga pengajar di sebuah kampus. Itupun tak ada hasil. Mungkin Tuhan tahu, saya tak benar-benar berusaha.

 

 

Time heals

Kalimat itu tampaknya berlaku buat saya. Waktu memang paling pintar. Dia membuat segala sesuatu berjalan dengan natural dan apa adanya. Saya butuh waktu hampir satu tahun untuk kembali tenang, dan menata hati. Selama masa itu, saya hanya menulis di blog sambil berjualan alat kosmetika. Hasilnya, neraca keuangan keluarga saya makin miring. Dan itu menyakitkan.

Sering kali, saya ketakutan saat tagihan bulanan datang. Kalau sudah begitu, migren langsung datang tanpa permisi, disusul keringat dingin yang tak henti mengalir. Saya takut menghadapi masa depan. Membayangkan tumpukan tagihan itu makin besar, sungguh membuat saya ngeri. Saya ingin lari. Tapi kemana? Otak saya buntu. Dan saya mulai menangis.

 

 

Secercah harapan

Asus x555qa

Pixabay

 

Saat sedih mendera, saya sering kali menuangkannya dalam tulisan. Saya ngeblog untuk sekadar membuang sampah dalam diri. Terkadang, saya juga menulis cerita motivasi. Bukan bermaksud menggurui, sebenarnya hal itu lebih untuk menyemangati diri sendiri. Saat menulis, menjadi saat-saat yang begitu saya nikmati. Saya bisa bebas bercerita, mengembara dan menyusuri lorong waktu tanpa takut bertemu dengan orang-orang ataupun hal-hal yang mengerikan di dunia nyata.

Berbekal notebook jadul warisan saudara saya, saya mulai menulis. Meski butut dan baterainya soak, notebook itu cukup berjasa mengikis luka-luka batin yang saya alami. Bersamanya, saya menuangkan banyak hal.

Tapi kebersamaan kami tak berlangsung lama. Nggak sampai setahun, notebook tercinta itupun menyerah kalah. Entah apa alasan pastinya, dia tiba-tiba mati saat sedang saya gunakan. Hancurlah hati saya. Bermacam cara saya coba untuk membuatnya menyala lagi. Tapi semua tak berguna. Sejak saat itu, dia tak pernah kembali. Hiks.

Dengan berat hati, notebook itupun saya lego ke pasar loak. Berharap mendapat sedikit uang dari hasil menjualnya, dan bisa saya pakai untuk membeli notebook second yang masih bagus. Nyatanya, tak ada seorangpun yang mau membeli notebook jebol itu, kecuali seorang bapak sepuh. Itupun beliau hanya bersedia membeli seharga beberapa ratus ribu saja. Mungkin beliau trenyuh melihat muka saya.

Sebenarnya, saya agak takut juga membeli notebook second. Pengalaman dulu pernah dikadalin sama teman sendiri membuat saya parno untuk membeli barang serupa. Akhirnya, saya pulang dengan tangan kosong. Baru beberapa hari kemudian, saya berhasil membujuk suami untuk membeli sebuah notebook sederhana –tapi baru- di BEC (Bandung Electronic Center). Ets, jangan kagum dulu! Notebook ini berhasil saya boyong pulang tapi dengan ngutang pakai kartu kredit. Hiks. Sedih banget ya hidup saya waktu itu. Tapi sejak punya notebook itu, akhirnya hobi menulis saya bisa tersalurkan kembali meski belum bisa menghasilkan karya yang bisa dibanggakan. Minimal, menulis tetap menjadi terapi yang ampuh untuk menyembuhkan luka batin saya yang mulai menutup.

 

 

Menjadi momwriter

Perlahan, saya aktif menulis. Sejak melahirkan anak kedua, dunia saya sedikit terguncang. Malam-malam panjang yang sepi, proses kepindahan keluar kota yang serba tergesa, hingga adaptasi yang tak mudah, membuat saya limbung lagi.

Di saat seperti itu, suami saya lah yang membangkitkan semangat dan mendorong saya untuk terus menulis. Hingga akhirnya saya berhasil menerbitkan sebuah buku solo yang isinya curhatan saya sebagai ibu. Semua saya kerjakan dengan notebook kreditan. Selain itu, saya mulai agresif mencari komunitas menulis yang baik, hingga mencari mentor yang yahud. Saya sadar, tak selamanya saya bisa belajar otodidak. Untuk itu, saya rela memangkas jam tidur dan begadang berbulan-bulan untuk mewujudkan obsesi saya menjadi penulis andal. Daannn, begitulah dunia saya berputar. Semua terasa indah, sampai akhirnya suatu hari notebook itu mati mendadak seperti orang stroke. Huaaa…

 

*

 

Fiuhhhss… tarik napas dulu ah. Semoga Anda tak bosan dengan ocehan garing saya di depan. Untuk itu, yuk saya ajak ngomongin notebook aja. Well, sebagai momwriter, tentu saja rusaknya notebook menjadi kendala yang sangat berarti bagi saya. Memang, saya masih bisa mempergunakan smartphone untuk mengerjakan sebagian tugas. Tapi, nggak lucu juga kalau saya harus mengerjakan naskah buku super tebal di dalam benda kecil itu, bukan? Belum lagi kalau anak mbarep saya meminta jatah bermain. Mau nggak mau, saya harus ngalah.

Smartphone, buku dan notebook memang menjadi senjata andalan saya sebagai momwriter. Dua benda pertama yang saya sebutkan di depan tampaknya tak menjadi soal. The problem is, my notebook doesn’t work. Dan itu artinya saya harus mencari notebook pengganti yang bisa mengakomodir baik itu kebutuhan profesi, hobi, ataupun hiburan sehari-hari.

 

 

Nggak muluk-muluk deh, saya hanya perlu notebook yang mampu mengimbangi jam-jam ngalong saya di tengah malam. Yang bisa memahami kegaptekan emak-emak rempong ini. Nggak perlu spek tinggi untuk nge-game atau apalah yang (menurut saya)  nggak penting. Asalkan bisa untuk ngetik, ngitung, nyetel DVD, atau memutar lagu, itu sudah cukup. Simple kan?

 

 

Berita baiknya, ASUS memahami kebutuhan emak-emak seperti saya ini dengan merilis notebook seri X terbarunya, yakni ASUS X555QA. Notebook ini memang ditujukan untuk para pemula dan pengguna kelas menengah seperti saya. Notebook dengan banyak pilihan warna ini diklaim sangat cocok untuk computing task sekaligus kebutuhan hiburan. Hm, pas banget deh untuk saya. Pas deadline menulis datang, bisa sangat membantu. Di lain waktu, saat ingin release dan rileks, notebook ini pastinya juga cocok. Lalu seperti apa sih spek ASUS X555QA ini?

 

Kebetulan, saya baru aja coba-coba bikin review singkat tentang salah satu notebook impian ini. Tapi, berhubung saya gaptek ya mohon maaf kalau hasilnya nggak secetar para pesohor IT itu ya… Yuk, simak video di bawah ini.

 

Desain

Secara umum, desain ASUS X555QA ini tak jauh beda dengan kebanyakan produk ASUS seri X lainnya. Dimensi yang dihadirkan cukup lebar yakni 382 x 256 25,8 mm dengan ukuran layar 15,6 inci. Wow, mata minus saya pasti senang dengan layar segede gini. Udah gitu, untuk emak-emak yang kalau pergi bawaannya sebagasi ini, ASUS X555QA ini sangat friendly. Bobotnya hanya 2,3 kg (plus baterai), so pasti mudah dijinjing.

Meski sedikit tebal karena adanya optical disc drive di sisi kanannya, hal ini tampaknya tak mengurangi keindahan secara keseluruhan. Bodinya pun apik, didominasi plastik dengan sudut-sudut membulat. Cover layarnya berwarna hitam dengan sapuan silver di bagian keyboard.

Oya, ngomong-ngomong soal keyboard, saya harus (sekali lagi) memuji ASUS. Nggak nyangka banget ASUS begitu peduli dengan kondisi jari emak-emak rempong. Jari saya yang jempol semua ini sering nyangkut di mana-mana saat ngetik. Akibatnya, typo pun bertebaran. Capek deh ngeditnya. Karena itu, saya lebih sering memasangkan external keyboard saat memakai notebook yang lama.

Tapii… kayaknya hal itu nggak akan kejadian dengan notebook ini deh. Gimana enggak, desainnya yang ergonomis sangat memanjakan pengguna. Dengan ruang yang cukup luas untuk penampang tangan, dijamin tangan saya nggak akan cepat lelah kayak Hayati. Selain trackpadnya yang nyaman dan peka, ASUS juga membekali X555QA dengan numpad di bagian kanan. Whoaaa… senangnya! Saya kan paling alergi saat harus ngetik angka di bagian atas seperti pada notebook-notebook lainnya.

Oya, satu lagi. Pengguna bisa mempergunakan trackpad ini dengan leluasa. Kenapa? Karena ASUS melengkapinya dengan Smart Gesture – Multi Touch Made Easy yang memungkinkan kita melakukan banyak hal, seperti zoom in, zoom out, atau berpindah dari aplikasi satu ke aplikasi lain lewat situ. Keren kan?

 

 

Fitur

Dengan bekal panel layar sebesar 15,6 inci tadi, ASUS X555QA dibesut dengan resolusi layar 1366 x 768 pixel. Meski belum full HD, tapi harus diakui bahwa layarnya cukup jernih, tajam dan terang.

ASUS X555QA juga memiliki bermacam fitur tambahan yang disematkan di tiap sisinya. Seperti LAN, dua port USB 3.0, sebuah port USB 2.0, HDMI, VGA, dan lubang card reader yang mendukung beragam jenis kartu. Mulai dari  memori SD, SDXC, ataupun SDHC. Ohya, teman-teman pasti tahu dong, kemampuan USB 3.0 ini 10 kali lebih kencang dibandingkan yang USB 2.0. Wus, wus, wusss deh pokoknya. Kita bisa memindahkan file hanya dalam hitungan detik. SUPER!!

Eits, belum selesai nih. Notebook ini masih dibekali dengan built in Bluetooth 4.0 yang mampu memproses data jauh lebih cepat dan juga koneksi Wi-Fi Integrated 802.11 AC dan 902.11 b/g/n.

Dan, jangan lupa optical disc drive yang tadi sudah saya sebutkan di atas ya. Wuiih, kalau kayak gini, saya pasti puas deh. Mau nonton Drama Korea juga nggak harus rebutan DVD player sama anak-anak pastinya. Hehe.. #senyumpuas#

Untuk urusan audio, ASUS X555QA dibenami dengan SonicMaster yang diletakkan pada bagian bawah depan. Nggak heran, kualitas suara yang dihasilkan sangat joss, jernih dan tidak pecah meski volumenya dimaksimalkan. Suara bassnya cukup menonjol. Sangat pas untuk nyetel musik dan memutar DVD. Teknologi ini juga dirancang untuk memfilter noise dan meningkatkan kualitas output alias nggak kresek-kresek. Mau pake speaker atau earphone, semuanya ditanggung sejernih kristal. Yihaaa! *jingkrakjingkrak* eh…hehe.

 

 

 

 

 

Performa

ASUS X555QA dibesut dengan prosesor AMD A10-9620P dengan kartu grafis terintegrasi AMD Radeon R5 430 yang memungkinkan pengguna untuk mengerjakan banyak hal dengan Windows 10. Dan kabar baiknya, ASUS telah membekali notebook ini dengan Windows 10 ini. Meski bukan termasuk jajaran prosesor terkuat, tapi racikan ini cukup mumpuni di kelasnya. Dengan RAM sebesar 4 dan 8 GB, kapasitas yang dimiliki adalah 1 TB.

Satu lagi kelebihan ASUS X555QA yang saya suka, yakni kemampuannya untuk terjaga dari sleep mode. Nggak butuh waktu lama, saya hanya perlu menunggu 2 detik saja dan taraaa! Notebook sudah bisa digunakan kembali. Sangat pas kalau tiba-tiba si Adek rewel minta dikelonin sementara kerjaan belum beres. Biasanya, saya akan tertidur dan saat kembali ke notebook, harus nunggu lama untuk menyalakannya lagi.

Harga notebook ASUS X555QA ini cukup terjangkau yakni sekitar enam jutaan. Harga yang sangat rasional dengan fitur yang ditawarkan. Selain itu, yang bikin saya tambah syuka adalah notebook ini mau diajak hidup susah irit daya. Hanya butuh 15 watt saja untuk menyalakannya. Uwoow, cucok sangat untuk semangat hemat ala saya.

Sebagai ibu rumah tangga, saya memang dituntut untuk selalu hemat dan cermat mengatur segala kebutuhan keluarga. Tak hanya itu, saya juga wajib mengelola emosi agar sehat jiwa dan raga ini. Bagaimanapun juga, anak-anak dan suami tercinta mengandalkan saya. Kalau saya tak sehat, siapa yang akan mengurus mereka? Karena itu, untuk menjaga otak saya tetap waras, menulis sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup saya.

Lewat menulislah, saya bisa berbagi dengan dunia. Tak hanya itu, saat-saat menulis membuat jiwa saya lebih tenang, selain tentu saja saat menonton DraKor dan membaca novel romantik. Ya, saya telah menemukan jalan saya. Meski harus melewati episode yang tak mengenakkan, sekarang saatnya saya membahagiakan diri sendiri. Dengan notebook ASUS X555QA ini, impian saya akan segera terwujud. Amin!

 

 

Kepompong yang menjadi kupu-kupu

Asus x555qa

Saya dan beberapa karya yang saya hasilkan.

 

Hari ini, hampir enam tahun setelah saya memutuskan berhenti bekerja, saya berdiri di sini. Semua kepahitan, luka batin, dendam, dan rasa sakit sudah saya kubur. Saya telah belajar banyak hal, bahwa manusia tak boleh selamanya terpuruk. Rasa sakit, cibiran, dan hinaan sering kali menjadi obat yang memaksa kita untuk tetap teguh berdiri dan tampil menjadi pemenang. Sungguh, saya memang bukan manusia sempurna, tapi saya ingin berusaha untuk menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Semoga saya diberi kekuatan untuk terus rendah hati dan mau dibentuk.

Hari ini, hampir enam tahun yang lalu, saya membuka sayap patah saya dan membiarkan Tuhan merajutnya kembali. Dan kau tahu? Ia menggantinya dengan sepasang sayap baru yang jauh lebih kuat. Tuhan membuat talenta menulis saya menjadi berkat bagi banyak orang dengan menjadi little mentor untuk para perempuan penulis di seluruh Indonesia. Tulisan-tulisan saya juga banyak bertebaran di media online di mana saya menjadi kontributornya. Lewat hal tersebut, saya bisa berbagi hidup dengan banyak orang.

Semua ini meyakinkan saya bahwa Tuhan senantiasa menyertai. Karena itu, tak ada lain yang bisa saya lakukan kecuali terus bersandar kepada-Nya. Doa saya semoga diri ini senantiasa diberi kekuatan untuk terus berjalan dalam kehendak-Nya dan menjadi saluran berkat bagi dunia. Amin.

 

Salam,

Bety Kristianto

***

 

Artikel ini diikutsertakan pada Blog Competition ASUS AMD  – Laptop For Everyone yang diselenggarakan oleh bocahrenyah.com.