Weaning with Love – Periode menyapih adalah saat-saat paling mendebarkan bagi saya. Mungkin terdengar agak aneh bagi sebagian orang ya? Bukannya masa paling mendebarkan adalah menjelang kelahiran? Kok ini malah pas menyusui sih?

Well, proses melahirkan memang sangat mendebarkan. Taruhannya nyawa! Tapi menyapih adalah momentum yang jauh lebih emosional bagi saya pribadi. Kenapa? Karena selama dua tahun lebih (saya bahkan sampai 3 tahun) saya sudah sangat terbiasa menikmati sentuhan langsung dengan si bebi bala-bala.

Kami biasa tertidur berjam-jam dengan kulit saling menempel, atau saya bisa menikmati puas-puas tatapan mata polosnya saat menyusu di payudara saya. Aliran kasih sayang, emosi, perasaan, dan banyak hal lainnya terjadi begitu indah dan intim. Daaan saat semuanya itu harus diakhiri…. rasanya seperti separuh jiwa melayang hiks.

Saking emosionalnya momen menyapih ini, saya sampai 2 kali gagal menyapih Kevin. Pertama karena saat mulai disapih Kevin langsung demam seminggu. Itu kejadian pas dia umur 2,5 tahun. Kedua, saya nggak tega menyetop ASI saat dia merengek sambil menangis diam-diam di dada saya beberapa bulan berikutnya. Huaaa….

Tapi, bagaimanapun juga bayi kan harus disapih ya Moms. Jadilah saya memutar otak gimana caranya dia bisa lepas ASI tanpa meninggalkan trauma baik bagi dirinya maupun bagi saya sendiri. Nah, sebelum bicara lebih jauh tenang menyapih ini, kita ngobrol dulu yuk apa sih yang dimaksud dengan menyapih dan mengapa menyapih itu penting.

 

Menyapih dengan cinta

Bersama Kevin umur 3 bulan. Udah kayak bakpao kan pipinya?

 

Apa itu Menyapih

Menurut Wikipedia Indonesia, menyapih adalah proses memperkenalkan mamalia (termasuk anak manusia) dengan sumber pangan dewasanya dan perlahan-lahan menghentikan pemberian ASI. Sedangkan menurut KBBI, menyapih diartikan sebagai menghentikan anak menyusu (pada ibunya).

Jadi, jelas ya kalau proses menyapih adalah usaha untuk menghentikan pemberian ASI kepada anak, baik secara langsung ataupun pemberian ASIP (ASI Perah). Proses ini dianggap selesai atau berhasil, jika anak sepenuhnya berhenti atau tidak menyusu lagi kepada ibunya. Artinya, anak tidak lagi bergantung kepada pasokan ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya sehari-hari.

Sebenarnya, ada dua hal yang bisa menjadi penyebab berhentinya pemberian ASI ini, yakni anak secara sukarela berhenti menyusu kepada ibunya, atau sang ibu yang berhenti menyusui anaknya.

Pada kasus pertama, pastinya jauh lebih mudah bagi si anak karena dia (mungkin) sudah merasa puas dengan ASI. Makanya dia akan berhenti karepe dewe alias voluntary. Tapi pada kasus kedua ini yang lebih kompleks. Dan itulah yang saya hadapi saat menyapih Kevin.

Menyapih bisa jadi momen yang sangat emosional. Selama proses menyusui, tercipta sebuah ikatan batin yang begitu kuat antara ibu dan anak, sehingga ketika proses ini berhenti bisa menimbulkan goncangan kejiwaan. Menyusui tidak hanya soal pemberian nutrisi dari ibu kepada buah hatinya, tapi juga proses transfer spirit, emosi, karakter dan beragam nilai lain yang secara tidak langsung akan membentuk kepribadian anak di masa depan. Nggak heran, saat disapih anak akan merasa nggak nyaman dan diikuti dengan rewel atau tantrum, karena salah satu sumber kenyamanannya direnggut. Ketidaknyamanan ini akan terasa lebih berat buat para new mom yang pastinya masih terikat banget sama si kecil.

Waktu yang Tepat untuk Menyapih 

Sesuai rekomendasi WHO, ASI merupakan satu-satunya sumber nutrisi yang sempurna bagi bayi baru lahir hingga usia enam bulan. Karena itu, pemberian ASI eksklusif sangat disarankan. Untuk menjamin hak anak mendapatkan ASI eksklusif, pemerintah Indonesia juga telah memberlakukan Undang-undang Kesehatan Pasal 128 UU no. 36 tahun 2009 yang menyebutkan, “Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan), kecuali atas indikasi medis”.

Memasuki usia tujuh bulan, bayi sudah bisa menikmati MPASI, yaitu makanan semi padat pertamanya. Tapi ingat, pemberiannya pun harus bertahap, menyesuaikan kesiapan fisiknya. Periode ini biasanya berlanjut hingga usia anak memasuki dua tahun.

Nah, di tahun kedua ini, anak-anak sudah memiliki gigi geliginya yang lengkap dan sistem imunnya pun sudah banyak berkembang. Karena itu dia nggak akan bergantung 100 persen pada ASI lagi. Di sinilah proses menyapih boleh dilakukan.

Metode penyapihan

Ada dua metode menyapih yang biasa kita kenal yakni

Forced Weaning

Metode ini adalah metode yang sudah dipakai oleh para leluhur kita sejak jaman dulu. Anak “dipaksa” atau dikondisikan untuk berhenti menyusu. Entah karena sang ibu sedang hamil, karena faktor usia anak, atau hal lainnya.

Untuk melakukan metode ini, biasanya puting payudara diolesi sesuatu yang membuat anak nggak nyaman menyusu. Misalnya bratawali, minyak kayu putih, asam dan lain-lain. Sensasi dan rasa tak enak di puting ini yang membuat anak nggak mau menyusu lagi. Beberapa orang tua di kampung saya bahkan memakai jasa “suwuk” yakni pergi ke “orang pintar” untuk membuat anak “lupa” menyusu dan nggak rewel selama disapih.

Belakangan, metode ini mulai ditinggalkan oleh para emak jaman now. Kenapa? Karena dituding menjadi salah satu penyebab trauma pada anak dan membuat hubungan antara ibu dan anak kurang baik di masa depan. Anak merasa diabaikan dan akhirnya penilaian terhadap sosok ibu jadi negatif. Apalagi jika tidak ada pendampingan khusus bagi anak selama proses penyapihan dilakukan.

Tapi, ada juga forced weaning yang benar-benar dilakukan karena “terpaksa”. Misalnya karena faktor kehamilan yang tak terencana saat anak masih dalam periode menyusu. Beberapa ibu hamil masih memberikan ASI-nya, sebagian lainnya memilih untuk menyetop ASI demi menjaga kehamilan keduanya.

Volunteered Weaning atau Weaning with Love

Metode kedua ini sekarang lagi populer. Mommies pasti pernah dengar ya istilah WWL atau Weaning with Love? Yap, cara ini adalah dengan mengatur pemberian ASI kepada balita sedemikian rupa sehingga anak bisa lepas ASI dengan cara yang lebih smooth dan menyenangkan. Hasilnya, anak dan ibu nggak trauma dan bisa memiliki bonding yang jauh lebih kuat di masa depan.

Diperlukan kesabaran ekstra dan dukungan dari semua pihak karena proses WWL ini butuh waktu yang nggak sebentar.

Saya butuh sekitar 3 bulanan sampai Kevin benar-benar lepas dari ASI. Buat yang penasaran apa saja sih yang diakukan saat WWL, berikut catatan saya.

 

weaning with love

Kevin, umur 3 tahun 2 bulan. Setelah lepas ASI, dia tetap happy.

Tips Melakukan Weaning with Love Tanpa Drama

Cari timing yang Benar-benar Tepat

Saya sengaja menentukan tanggal yang tepat untuk menyetop ASI. Hal ini saya beritahukan kepada Kevin jauh hari sebelumnya. Mungkin sekitar 3 atau 4 bulan ke belakang. Jadi, secara nggak sadar, dia sudah paham bahwa dia harus berhenti menyusu saat hari itu tiba.

Perhatikan Tanda

Ada beberapa tanda yang bisa dijadikan petunjuk bahwa anak siap untuk disapih. Antara lain dia kurang tertarik lagi pada ASI, hanya mengisap sebentar, hanya mengamut puting tanpa mengisapnya, atau perhatiannya terbagi-bagi saat menyusu.

Beri Sugesti

Sejak menentukan tanggal pengentian ASI, saya mlai memberi sugesti pada Kevin bahwa menyusu itu untuk dede kecil. Kevin sudah besar, sudah saatnya berpisah sama nenen. Selain itu saya juga mensugesti dia bahwa saya tetap sayang kepadanya meski sudah tidak memberi ASI lagi. Hal itu dilakukan terus menerus dengan cara yang lembut dan menyenangkan. Biasanya, menjelang tidur adalah waktu yang tepat untuk melakukan sugesti. Namun, saat dia menunjukkan tanda tidak suka, saya akan berhenti.

Bertahap

Hal lain yang sangat penting saat WWL adalah melakukannya secara bertahap, agar anak bisa beradaptasi dengan baik. Kita bisa melakukannya dengan mengurangi frekuensi menyusui secara perlahan.

Atur jadwal menyusui

Kalau biasanya Kevin bisa minta nenen kapan saja, saya mulai mengatur jadwal menyusunya. Terutama di siang hari. Saya akan membuatnya sibuk bermain dan memberi makanan tambahan yang mengenyangkan sehingga dia lupa sejenak pada ASI.

Jangan abaikan anak

Ketakutan terbesar dari anak saat disapih adalah hilangnya kenyamanan dan sumber kepuasan yang didapatnya saat menyusu. Karena itu, gantikan hal tersebut dengan tetap melimpahinya dengan kasih sayang. Sehingga anak merasa tetap diperhatikan meski tak lagi mendekap ASI.

Jangan Menolak, Tapi Jangan Menawarkan ASI

Untuk menjaga mood anak, saat WWL jangan menolak saat dia meminta ASI tapi jangan luga menawarinya. Hihi lucu ya? Pokoknya, kalau dia minta ya dikasih. Kalau nggak minta ya diam saja.

Bulatkan Tekad

Nah ini nih yang biasanya sulit dilakukan. Mommies justru menjadi pihak yang paling nggak rela melepas anak dari ASI. Kalau ingin menyapih, jangan setengah-setengah ya Moms. Yang ada nanti kayak saya, gatot muluk. Haha..

Bentuk Tim yang Solid

Menyapih nggak hanya “memutus” hubungan anak dengan ASI. Menyapih adalah tentang hubungan emosional antara ibu dan anak. Karena itu, butuh dukungan dari semua pihak dalam keluarga. Ayah, kakek, nenek, suster, babysitter, dan siapapun juga yang ada di dalam ring 1 anak harus mendukung proses ini. WWL butuh waktu, jadi jangan memburu-buru anak, kalau nggak ingin program ini berakhir dengan kegagalan.

Setiap anak memiliki jam biologisnya sendiri. So, nggak usah terlalu risau saat program WWL kita harus berlangsung berbulan-bulan ya Moms! Semua ibu pasti bisa melakukan WWL, asal punya tekad dan semangat yang kece. Yang penting anak nggak trauma dan Mommies pun happy. Dengan begitu, meski sudah lepas ASI, hubungan kita dengan anak tetap luar biasa. Setuju?

Selamat menyapih dengan cinta ya Moms.

bety kristianto