Apa kabar dunia?
Kuharap kamu baik-baik saja. Kamu hanya capek, butuh istirahat sejenak untuk bisa ceria lagi esok.
Beristirahatlah dengan baik, cepat pulih dan kita akan kembali bertemu.
Ya, bertemu dalam kondisi yang jauh lebih baik.
Bersegeralah untuk sembuh ya, aku kangen kamu yang dulu.
Ya, kamu dengan segala keriuhan dan kecantikanmu.
Salam dariku yang merindukanmu,
Manusia
😍😍
***
Hari ini, sudah sebulan lebih saya dan anak-anak berada di rumah. Masih lekat benar dalam ingatan sewaktu saya mengantarkan Kevin ke acara open house sekolah dasar yang ada di dalam kompleks TK-nya. Malam sebelumnya, walikota Solo mengumumkan bahwa mereka sudah memutuskan untuk “meliburkan” kegiatan sekolah dan menggantinya dengan kegiatan belajar di rumah. Hal ini diambil setelah seorang pasien suspect COVID-19 (dari dua orang yang terkonfirmasi) meninggal dunia. Pemkot Solo langsung mengambil sejumlah langkah tegas untuk menanganinya.
Duh, Solo aja udah lockdown, apa kabar Jogja? Batin saya. Jarak kedua kota ini kan deket banget. Lha kalo Solo aja udah lockdown, apakah kira-kira Jogja juga akan menyusul? Jadi sebenernya, pagi itu sebelum berangkat ke open house, saya udah agak malas-malasan untuk pergi. Cuma karena terlanjur janji sama Kevin ya terpaksalah pergi.
Sampai di sekolah, ternyata beberapa teman Kevin ada yang nggak masuk. Kebanyakan, mereka yang nggak datang punya alasan yang sama dengan saya: waswas dan memilih untuk diam di rumah. Sayangnya, pihak sekolah waktu itu belum bisa mengambil langkah meliburkan sekolah dengan pertimbangan belum ada instruksi resmi dari pemkot dan dinas pendidikan. Jujur saja, selama mengikuti kegiatan open house ini saya sudah khawatir. Selain diikuti oleh ratusan peserta, beberapa WAG yang saya ikuti sudah mulai penuh sama info ini itu terkait corona ini. Dan ini bikin saya makin gak nyaman. Dalam hati, saya sudah memutuskan untuk meliburkan anak-anak minggu depan. Nggak peduli deh sekolah sudah libur atau belum, saat itu saya hanya ingin melindungi diri sendiri dan orang-orang tersayang.
Beruntung, esok paginya ada informasi dari sekolah bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah diliburkan hingga beberapa waktu ke depan. Sayangnya, hal ini belum berlaku untuk sekolah si Kakak yang kebetulan sedang menghadapi ujian tengah semester. Terlebih si kakak kan udah di kelas XI, di mana sebentar lagi di harus mengikuti UN. Jadi, untuk sementara waktu dia masih masuk sekolah seperti biasa, untuk mengikuti ujian. Baru beberapa hari kemudian, setelah pemkot mengeluarkan instruksi resmi, pihak sekolah meliburkan seluruh siswanya dan mengganti kegiatan pembelajaran secara daring dari rumah.
Table of Contents
New life, new challenge
Sejak sekolah “libur”, semua tak lagi sama. Anak-anak dihadapkan pada sebuah tantangan baru yakni belajar dari rumah. Sebagai ibu, saya langsung kepo dan waswas (lagi) kira-kira bakalan mampu nggak ya melakukan school from home seperti ini. Bukan main-main loh, saya kan bukan guru. Jadi stok kesabaran dan kepintaran saya ya segitu-gitunya aja. Nggak bisa ditambah lagi. Terlebih saya nggak punya ART, dan masih harus membagi waktu dan tenaga untuk nulis buku dan ngeblog.
Bangun tidur, mandi, sarapan, belajar dan ngerjain tugas. Main bentar? Bolelah sembari nunggu Simboke beberes rumah atau nyuci baju. Woke deal! Such a perfect plan, right?
Itulah yang awalnya ada di pikiran saya. Nanti kalau Kevin udah selesai belajar, saya bisa nyetrika atau mulai nulis. Gak masalah. Masih bisa kehandle. Batin saya optimis. Toh anak-anak paham kalau mereka nggak lagi liburan.
Faktanya? Okelah hari pertama masih semangat. Hari kedua mulai loyo.
Bangun tidur kesiangan, suruh mandi malah ngamuk, mintanya gogoleran sambil nonton tivi. Menjelang jam 10, baru mau ngerjain 1-2 tugas ringan, lalu brenti minta cemilan. Abis tu nyemil beberapa menit, mainan bermenit-menit, baru mandi. Giliran mau nerusin tugas, udah jam makan siang. Brenti lagi, makan, dan males-malesan lagi. Omaiii…..!!
Kepala simbok jadi cenut-cenut. Hari ketiga-keempat masih sama, hanya iramanya makin lambat dan kepala simbok makin pening. Tenaga mulai rompol dan uring-uringan karena lebih banyak di depan kompor ketimbang laptop.
Beruntung si kakak udah lebih mandiri. Meski kalau mandi masih harus dipaksa-paksa, minimal saya nggak harus nemenin di sampingnya waktu dia ngerjain tugas dan ujian.
Masuk minggu kedua, akhirnya saya ngalah. Daripada stress dan nambah keriput, saya pilih untuk woles aja. Nggak mau lagi deh pusing sama skenario yang akhirnya amburadul juga hahaha. Dasar sanguinis koleris yang gak bisa diatur-atur! Saya (akhirnya) menertawakan diri sendiri.
Sampai suatu hari di beranda FB melintas status sesepenulis senior. Beliau bilang, belajar dari rumah itu sulit. Bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk orang tua dan pendidik. Otak manusia itu selalu terprogram untuk santuy saat di rumah. So, jangan senewen kalau anak-anak bakalan susah diajak belajar. Tugas kitalah sebagai orangtua untuk memahami dan tidak menekannya dengan mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan, apalagi memarahinya. Mereka sudah terbeban dengan tidak boleh keluar rumah, tidak bisa main dengan teman-teman.
Well… that’s true!
Semua itu berat, Fernando! Seberat tubuhku yang makin melar #eh 😂😂
Sejak itulah saya makin woles. Jalani selow aja, nggak mau ngoyo dan marah-marah. Keadaan nggak akan bertambah baik dengan kemarahan dan tensi tinggi, bukan? Saya sadar, kami semua tertekan, cemas dan takut terpapar COVID-19. Apalagi di awal-awal pandemi, bombardir info dari sana sini bener-bener bikin stress. Bukan hanya kita, orang dewasa, anak-anak pastinya juga berada dalam kondisi kejiwaan yang nggak baik.
So, saya putuskan untuk menjalani semuanya dengan santai. Tak apa tugas dipending dulu, yang penting dikerjain. Kecuali kakak yang memang ada deadline pengumpulan tugas harian. Setelah itu ya sok aja mau ngapa-ngapain, selama nggak nyebelin hahaha. Mau main game, boleh. Mau nonton tivi, boleh. Mainan komputer? Boleh. Sepedaan di dalam rumah?? Boleeee.. *sambilmatasedikitmelotot*
And that’s how the story goes. Dari yang awalnya hanya libur seminggu, lalu diperpanjang jadi dua minggu. Dan sekarang sudah sebulan lebih kami semua berada di rumah.
Above all things, remember to be grateful and thankful!
Saat Mas Mendikbud mengumumkan bahwa UN tahun ini ditiadakan, jujur saya lega bercampur gondok. Lega karena si kakak nggak harus ngadepin UN di tengah kegalauan COVID-19. Gondok karena biaya les berjuta-juta harus melayang tanpa sempat digunakan sebagaimana mestinya. Huhuhu… tau gitu kan bisa buat beli emas permata yak? *gubrak*
Tapi yang namanya takdir nggak bisa kita atur. Kalau Tuhan izinkan semua ini terjadi, at the end saya bisa menerimanya dengan legowo dan tetap bersyukur. Yang penting kami semua dikasih sehat, kuat, masih bisa berpelukan di rumah sampe puas.
Dalam masa-masa berat dan suram seperti ini, memang tak mudah untuk mengucap syukur. Bagaimana tidak? Ada banyak hal di luar sana yang bikin parno. Update berita tentang makin bertambah banyaknya jumlah penderita COVID-19, mereka yang meninggal, mereka yang kehilangan pekerjaan, dan lain-lain sungguh membuat kecut hati. Tapi, saya mencoba untuk menemukan hal-hal indah yang membuat saya bisa tetap mengucap syukur.
Secara pribadi, saya merasa wabah COVID-19 ini sebagai sebuah kesempatan yang mungkin nggak akan datang dua kali. Kesempatan? Ya, kesempatan berkontemplasi, instrospeksi diri dan mengambil lebih banyak waktu untuk orang-orang terkasih. Kalau dulu, kita sibuk dengan pekerjaan sampai gak punya waktu untuk bercanda dengan anak-anak, kini bisa lebih leluasa memeluk mereka. Dulu, kita sibuk ngurusin diri sendiri, sekarang makin banyak orang yang care sama orang lain.
Corona telah mengubah wajah bumi. Dia membuat dunia “berhenti” untuk sementara dan mengambil waktu bagi dirinya sendiri. Virus mungil itu membuat manusia sadar betapa kecil keberadaannya di tengah alam semesta, dan dengan sadar mulai mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Terlepas dari semua itu, saya percaya di balik semua kesulitan selalu ada hikmah. Dan setiap masalah selalu ada jalan keluar. Biarlah pandemi ini menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa pada suatu masa kita pernah menjadi saksi sejarah. Sejarah suram yang semoga tidak akan pernah terulang kembali di masa depan. Cukup kita saja, tak perlu cucu-cucu kita kelak.
Setuju Mbak. Virus kecil ini tlah mengubah banyak sisi dunia. Tetap sy berharap segera berlalu. Kasian teman2 sejawat sy yg berhubungan langsung dg pasien. Setiap saat dihantui bayangan takut menjadi carrier bagi keluarga masing2. Semoga sgra berlalu. Amiinn
Kalau diaku karna anak-anak homeschooling gak gitu terasa sih mba bedanya, malah jiwa rebahanku serasa didukung dg anjuran stay at home ini. Hihihi. Tapi soal makanan dan kesehatan lebih care dari sebelumnya, sebisa mungkin menghindari agar jangan sampai pergi berobat ke dokter atau RS
Hi, Mbok. Isi hati emak-emak sepertinya akan sama, ya. Setuju lho, nggak mudah membawa suasana sekolah ke dalam rumah. Sama halnya nggak mudah membawa suasana kantor ke dalam rumah. Makanya bawaannya santuy aja.
Aku setuju juga bahwa corona telah mengubah wajah dunia. Secara pribadi, aku jadi semakin dekat dengan anak-anak. Nggak terhitung waktu yang selama ini banyak tercurah untuk mencari uang dan memikirkan kesenangan diri sendiri.
Aamiin untuknya mbak Bety, cukup kita yang mengalami bayangan takut ini generasi mendatang semoga tidak. Baca awalnya sedih beud rasanya, bumi emang sedang mengambil waktu istirahatnya setelah sekian lama diperas. Semoga segera membaik, ke depannya kita juga jadi manusia yang semakin baik
Aku gak kebayang rasanya jadi ibu-ibu kayak Mbak Bety yang udah persiapan banget buat UN anak. Kebetulan Kakakku pun mengalaminya. Dua anaknya bimbel, dua-duanya batal UN. Nano-nano banget rasane. Yang satu malah gak lolos di SBMPTN. Wis tamha nano-nano karena masih mikir nyari kampus. Tapi ya sudahlah, kita ini bisa apa? Kalau alam sudah berkehendak kita cuma nurut karena kita ini kan numpang aja istilahnya. Tetap bahagia ya Mbak, kemungkinan situasi ini masih lama. Makanya aku wis selow banget. Mundak aku stres kalau tak pikir kenceng.
Mbak Bety, I feel you, hehehe. Anakku pun santuy banget kalau di rumah. Aku enggak ambil pusing santuy juga donk, wkwkwk. Kerjakan tugas aja seenak dia, kalau malas ya ditinggal. ya udah lah aku biarin aja enggak selamanya kok mereka akan malas-malasan, toh beberapa tahun lagi mereka akan sekolah lagi, hehehe. Itu sih pikiranku selama di rumah
U know ferguso … Eh maksudnya mbak kuh jangan dibuat ribet. Buat mereka sadar saja dengan motivasi bedanya yang tidak semangat dan yang rajin penuh semangat, rajin searching bareng orang hebat tapi bisa memotivasi itu saja sih kunciku menghadapi jagoan 3 dan siswa-siswi ku dulu dan kini. Kalau nggak tua sebelum waktunya
bener banget ya mbok, cukup kita aja yang merasakan pandemi hebat ini. cucu-cucu kita kelak biarlah mengetahuinya dari kita aja saksi sejarahnya. Aamiin semoga pandemi ini segera berakhir.
Sepakat banget dengan poin, selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Inilah yang menjadi penghibur ketika diriku udah mulai mengeluh dan merasa berat menjalani hari-hari di masa pandemi ini.
Apalagi saat melihat berita kalau ternyata bumi justru menjadi lebih cantik dan indah semasa wahah ini, seperti polusi berkurang dan sungai-sungai menjadi lebih bersih. Saya pun berpikir bahwa inilah saat bumi sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita bisa kembali menjalani hari-hari seperti biasa.
Setuju, Mbak.
Selalu ada hikmah yang bisa kita petik di balik sebuah peristiwa. Kalau aku pribadi sekarang memilih untuk menjauh dari semua berita negatif. Berusaha memberikam inputan positif aja dalam pikiran, dengan begitu bisa lebih relax menghadapi wabah ini. Namun, tentunya dengan tetap mematuhi peraturan physical distancing. Semoga wabah ini segera berlalu, biar kita bisa beraktifitas normal lagi. Aamiin
Begitulah cara Tuhan “bekerja” ngerjain hamba-Nya biar sadar kalau Dia punya Kuasa atas apapun. Andai bulan bisa ngomong (lagunya jadul banget yah ha-ha-ha) dia akan ngomong gini, “tahu kan sekarang, cukup zat tak terlihat yang gue sebarin dan kamu manusia sudah tak berdaya.”
Semoga ini menjadi jalan kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Amin
Hikmah akan terasa jika kita benar-benar ingin melihatnya. Sekali pun dalam kondisi yang serba sulit. Katakan saja seperti masa ini.
Tapi bagi yang nggak ingin melihat, yang ada hanya keluhan ini dan itu.
Padahal kalau mau membuka mata, yang merasa berat bukan hanya mereka. yang mengalami kesulitan juga tidak selalu mereka.
Sedikit curcol.
Aamiin, mudah2 cukup sekali ini saja. Mudah-mudahan dibalik semua ini ada hikmahnya ya. Wah pasar Klewer solo tutup dong ya?
Dibikin nyantai memang bikin damai. Saya juga mulai menurunkan target dan membiarkan anak memilih sendiri kegiatan positifnya.
Soal anak yang gak jadi UN padahal udah diikutkan les dengan biaya yang tidak sedikit, juga dialami oleh beberapa teman saya, Mbak.
Bener juga, tau gitu mending dananya untuk investasi ya hihihi
Betul bnget mb Corona membuat dunia berubah. Semua aspek kena efeknya. Sekolah, kerja dan aktivitas lain jd jungkir balik. Smg ada hikmahnya ya mba dan corona cpt usai. Aamiin
Hahaha Mba Bet aku sampe ngebayangin peningnya mba Betty beres-beres rumah sambil ngasuh anak. Emak-emak mah emang rempong ya mba udah gitu kita suka banyak drama ama anak. Kadang melelahkan hati juga. Lemes. Ngomongin soal UN aku juga lega adik aku ga ada UN tpi juga sayang aku juga udah terlanjur bayar 2 juta buat bimbel dia wkwkkw 😂. Nasib… Nasib 😂
Sepakat Mbak. Di setiap kesulitan itu pasti ada hikmahnya. Memang seharusnya kita harus banyak bersabar dan bersyukur ya, Mbak
Tiga bulan berselang sejak corona ada malah smakin bnyk korban. Kegiatan stay at home pun msh berlangsung. Dan pemerintah mnyatakan akan berdamai dgn corona. Tinggal bgmn upaya kita untuk melindungi diri sesuai protokol kesehatan. Mari sambut the new normal dgn penuh kedisiplinan diri dlm hidup. Smg kita benar2 bisa menjlnkan aktivitas di tengah pandemi yg meranggas. Semngat!