“Nggak ada yang mengerti aku,” bisiknya setengah terisak.

 

Aku tersentak, segera kuletakkan pisau dan sayur mayur yang tengah kupegang. Perlahan kudekati perempuan sepuh yang masih nampak segar itu. Usianya menginjak kepala enam, tapi secara fisik beliau masih terlihat seperti awal limapuluhan. Kulit wajahnya putih bersih, dengan rambut ikal sebahu yang mulai dipenuhi uban. Tubuhnya terbilang cukup subur, dengan berat sekitar 63 kilogram. Namun, tak banyak orang tahu betapa rapuhnya tubuh itu,

Ibu, begitu aku memanggilnya. Tubuhnya yang subur, sebenarnya tak semuanya hasil dari pola makan yang berlebihan. Ibu bahkan harus mengatur porsi makannya sedemikian rupa agar tubuhnya tak berontak.

Rumah sakit adalah tempat “favoritnya”. Setiap bulan, ibu harus mengunjungi dokter langganannya. Sungguh, tak mudah melewati semua ini. Dan ia sudah menjalaninya selama bertahun-tahun.

Ah, ibu… sungguh engkau begitu kuat. Tak semua perempuan mampu melewati hari-hari seikhlas dirimu. Aku belajar banyak hal tentang iman, pengharapan dan keyakinan darimu. Aku tahu, sudah menjadi tugasku melayani dan menemani masa senjamu. Tapi, kita bukan malaikat. Kita hanyalah seonggok daging yang penuh kelemahan.

 

Ibu, ingin kulihat senyum dan tawamu seperti ini selamanya.

 

Selalu ada saat yang berat bagi semua orang. Demikian juga bagi ibu. Karena itu, aku mencoba memahaminya. Aku tahu, tak mudah menjalani semua takdir ini.

Dapurku belum lagi beraroma makanan. Tak ada uap panas dari ketel ataupun panci tanda masakanku telah mendidih. Namun aku merasakan hangat yang semakin panas. Emosi ibu menguap ke udara, menyisakan kelu yang tertahan dalam dadaku. Tanpa sadar, aku terbawa dalam alunan melankolis yang dilantunkan ibu.

Air mata ibu meluncur deras. Kuhampiri beliau dan kupeluk erat. Tak kuhiraukan lagi peluh dan airmata yang membasahi bajuku. Kubiarkan airmataku meleleh bersamanya.

Ya, menangislah ibu. Biarkan gunung es itu mencair. Engkau tak harus menyimpannya sendirian. Maafkan anakmu, yang selama ini tak bisa mengertimu. Padahal karena engkaulah aku bisa ada sampai hari ini.

Ingatanku melayang. Terbayang lagi saat-saat pertamaku menjadi ibu. Panik dan nervous menghiasi hari-hariku. Dan ibu ada di sana. Mengajari dan membimbingku merawat bayi mungil yang kini telah menginjak remaja. Belum lagi baby blues syndrome yang sempat menyapa, kerepotanku mengurus rumah tangga dan betapa kuwalahannya aku membagi waktu. Entah apa jadinya kalau ibu tak ada di sampingku saat itu. Sungguh, ucapan terima kasih tak kan pernah cukup untuk membayar semua jasamu. Sebaliknya, masih banyak mimpi dan harapanmu yang belum bisa kuwujudkan,

 

Saat bahagia ketika ibu masih jauh lebih sehat beberapa tahun yang lalu

 

Doaku, semoga Tuhan memberimu kekuatan yang tak pernah putus untuk melewati hari-hari ke depan. Mungkin sekarang belum saatnya kesembuhan menjadi bagianmu. Tapi, kita akan terus berjuang bersama. Percayalah akan selalu ada tangan kuat yang menopangmu. Engkau perempuan yang luar biasa, kuat dan istimewa. Itulah alasan Tuhan memberimu ujian sekeras ini. Karena Ia tahu, pejuang tangguh sepertimu mampu menaklukkannya. Bersinarlah, Bu, percayalah mujizat itu masih ada.

 

Sungkemku untukmu,
Bety

 

***

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh Saliha.id